Saya tadi mengaji Syarh al-Hikam di musala pondok. Di halaman 38, kiai menjelaskan arti pentingnya sahabat. Pesannya, jika teman itu menjauhkan Anda dari akhirat, pergilah!
Di tengah sorotan pada pesantren, saya mengingat kembali tulisan di Jawa Pos bertajuk "Ayo (Jangan) Mondok!". Dulu, kami belajar sebagai bekal untuk menyiapkan alat membaca teks sekaligus budi pekerti. Bila kami mengangkat batu di pagi hari, itu bukan kuli. Ia tidak mengganggu kegiatan mengaji dan belajar kami. Dengan bergiat fisik, kami kuat dan tidak mengantuk di sekolah.
Betapa pun kini mengusung cara berpikir tradisional, kami belajar apa itu modal (tadi kiai menjelaskan ra's al-mal), yang tentu berbeda dengan konsep Das Capital Marxisme. Namun, saya pikir kami peduli dengan orang miskin.
Pondok tempat kami berkhidmat lahir dari kehendak bersama untuk mengangkat derajat ilmu, akhlak, dan ekonomi. Pendiri Nurul Jadid dulu membawa tembakau ke Paiton untuk mengajak warga bertani. Kini, kami telah bergerak di banyak bidang usaha, yang tujuannya sama, bahwa materialisme itu dipahami, tetapi kami tidak berhenti di benda sebagai benda itu sendiri, sebab hal spiritual, khususnya mengurus hati, adalah pekerjaan paling berat dalam hidup.
Oh ya, kala status ini ditulis, lagu Guns n Roses Live and Die mengalun. Grup musik ini saya kenal kala mondok di Annuqayah dulu dari Hefni yang kini bertemu kembali setelah menua dan bergiat di khatmil Qur'an.
No comments:
Post a Comment