Sebagai pasifis, saya selalu memeriksa pesan lagu Nafsu Serakah. Kata Bang Haji, penderitaan di atas dunia ini akibat kehendak kuasa segelintir orang. Sebagai santri yang menimbang etika Mu'tazilah di mana keadilan adalah pokok ajaran, pertanyaan lagu ini layak ditimbang, kapan tegaknya keadilan?
Tambahnya, manusia telah melupakan Tuhannya sebagai sumber malapetaka. Saya pikir teodisi yang saya bahas di dalam skripsi kala S1 dulu tiba-tiba memeras otak untuk kembali hadir menyoal relasi Tuhan-manusia. Tetap saja buntu, lalu satori (Jepang: 悟り) Zen hadir, bahwa kata tak cukup menghadirkan realitas Tuhan dan manusia dalam setarikan napas.
Alih-alih berpikir, saya justru meraih keindahan dari nomor terbaik Bang Haji, yang menurut saya, inilah lagu tercantik dari segi lirik dan musik, meskipun kata Haji Chofiz, Badai Fitnah adalah komposisi yang paling rumit karena tangan dan kaki terus bergerak dari awal hingga akhir lagu.
Saya pikir Rhoma itu, secara teologi, bukan Asy'ariyyah, meskipun secara formal penulis Hari Berbangkit tersebut acapkali sejalan dengan aliran ini. Coba simak Hari Berbangkit! Dari segi koreografi, penampilan ayah Ridho ini telah melampaui zamannya karena berhasil memanggungkan teater ke atas pentas dan terutama setiap sebutir debu amal akan diperhitungkan dan Tuhan hanya memperingatkan. Ini berbau Mu'tazilah.
Aha! Dalam kesunyian seluruh kata-kata di atas tak lebih daripada sebatas lema-lema yang dianggit untuk memahami hidup dan saya hapus karena bahasa itu tak cukup menghadirkan makna yang utuh tentang eksistensi yang hakiki

No comments:
Post a Comment