Saya pernah menulis tema bosan, di KOMPAS (Lihat di sini: Mudik dari Kebosanan), Kabar Madura, dan tentu seringkali menyelipkannya dalam perkuliahan dalam pelbagai subjek.
Pagi ini, kala sendirian di rumah, saya mengerjakan pekerjaan "membersihkan", yang mengigatkan saya pada tradisi religi Tokugawa. Setiap kali mengayunkan sapu, suhu itu mengandaikan menyucikan hatinya dari sifat buruk, seperti pamer, dengki, dan congkak.
Malam ini, kami akan merayakan ulang tahun perkawinanan di warung tak jauh dari rumah. Kita hidup dengan apa yang kita bisa jangkau, sebab autentisitas itu adalah keadaan yang kita jalani dengan sepenuh jiwa dan raga. Apa ada lilin? Tidak, sebab kami akan terlihat aneh oleh pengunjung lain. Namun, saya tak berarti ikut pandangan kerumunan dalam banyak hal. Tentu, kebedaan ini mendatangkan risiko, dicap dengan label tertentu.
Setidaknya, saya memakai jubah ke kampus untuk keperluan peragaaan Living Qur'an, di mana pakaian itu secara fenomenologis menyampaikan pesan. Sebagaimana kala memakai baju adat Madura, orang-orang serba kikuk untuk memberi komentar di perpustakaan UUniversitas Nurul Jadid - UNUJA karena saya mengajar Living Qur'an dengan pakaian khas Jawa Timur ini.
Masalahnya, mengapa orang yang baru pulang dari haji dan umrah memakai jubah dan tidak pakaian adat?

No comments:
Post a Comment