Catatan Kecil
Paling tidak, sebagai mahasiswa, kita mempunyai dua keuntungan, yaitu ekonomi dan politik. Secara ekonomi, kita adalah sebagian kecil anak bangsa yang mampu menikmati bangku kuliah sementara ratusan ribu hanya mengecapi pendidikan sekolah menengah. Secara politik, kita adalah komunitas yang mempunyai kedudukan diperhitungkan dalam percaturan kehidupan berbangsa karena kritisismenya mempunyai daya dobrak.
Paling tidak, sebagai mahasiswa, kita mempunyai dua keuntungan, yaitu ekonomi dan politik. Secara ekonomi, kita adalah sebagian kecil anak bangsa yang mampu menikmati bangku kuliah sementara ratusan ribu hanya mengecapi pendidikan sekolah menengah. Secara politik, kita adalah komunitas yang mempunyai kedudukan diperhitungkan dalam percaturan kehidupan berbangsa karena kritisismenya mempunyai daya dobrak.
Lalu pernahkah kita memikirkan dua hal ini sebagai sebuah anugerah? Jika kita menganggap demikian, maka ini adalah awal untuk menjaga kepercayaan, mengukuhkan komitmen dan menjalaninya dengan sepenuh hati – belajar. Tetapi, belajar bukan hanya membaca teks, ia juga membuat teks itu berbicara dalam tindakan konkret. Teks tentang keadilan akan mendorong kita untuk tidak melakukan pembedaan terhadap orang lain. Teks tentang pembelaan terhadap yang terpinggirkan akan mengajak kita untuk menyapa mereka dan bertanya apa derita yang sedang dipikulnya. Di sini, negara jiran Malaysia, kita menunjukkan empati pada tenaga kerja yang telah mengalami penghisapan luar biasa sehingga mengikis tulang sumsumnya.
Selain itu, sebagai manusia yang sadar politik, kita harus menunjukkan posisi kita sebagai kelompok penekan agar para aparatus negara tidak mengabaikan nasib mereka yang teraniaya, baik oleh orang maupuan sistem. Tentu, kita banyak membaca perlakuan buruk terhadap mereka dan gajinya yang lebih rendah dari orang lokal. Padahal, acapkali bangsa Indonesia didaku sebagai saudara yang mempunyai latar belakang yang sama. Lalu, tidakkah ini adalah jargon yang tidak memiliki arti apa-apa?
Mencari sosok
Sekarang Film Gie sedang menarik perhatian banyak kalangan. Ia telah berupaya untuk mengusung ide-ide Gie ke dalam dunia filmis, yang menghadirkan sosok Nicholas Saputra sebagai Soe Hok Gie dan Wulan Guritno sebagai Sinta, pacarnya yang pernah dicium, tapi disensor dalam film. Namun, perlu diingat bahwa dalam buku Gie, Catatang Sang Demonstran (Jakarta: LP3ES, 2005) nama pacarnya adalah Maria, yang telah membuatnya patah hati.
Gie adalah mahasiswa di UI yang berperan tidak hanya sebagai mahasiswa, tapi juga pencinta, intelektual dan pendaki gunung yang tangguh [baca: pencinta alam]. Menjadi mahasiswa yang baik tidak berarti hanya berkutat dengan buku, bukan? tetapi juga melakukan aktivitas ragawi, yang membuat jiwa lebih kuat (mungkin sepak bola di sini, atawa bola keranjang?).
Gie, tidak hanya garang terhadap pemerintah yang korup pada waktu itu, tetapi juga pada teman-temannya di legislatif dengan dikirimi alat makeup [gincu]. Mereka adalah para komprador yang telah menginjak-injak idealisme yang dulu didengungkan dan sekarang menyanyikan kebobrokan yang sama.
Sebagai mahasiswa, Gie banyak membaca dan menulis. Salah satu tulisannya adalah kutipan dari kata-kata Filsuf Yunani... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda." Akhirnya, ia memang mati muda di puncak Gunung karena serangan gas.
Akhirnya, kita sekarang yang akan mengepalkan tangan dan mengatakan Lawan!
Bumi Restu, 23 Juli 2005
Untuk teman-teman mahasiswa baru Universiti Sains Malaysia
No comments:
Post a Comment