Kemarin, saya kembali ke perpustakaan untuk meminjam kumpulan cerpen dan puisi tanpa novel, di antaranya Kastil Mati dan Kastil Menderunya Joni Ariadinata, Hijau Kelon dan Puisi 2002 Soetardji Calzoum Bahri, Wisanggeni, Sang Buronan Seno Gumira Ajidarma dan Senja yang Paling Tidak Menarik Areswendo Atmowiloto.
Dengan takjub, saya menelisik huruf-huruf yang tertera di buku Joni, karena isinya adalah masa lalu, yang dulu tak terpikirkan dan mampir di benak. Joni telah merekam dunia yang dekat dengan saya, waktu kos di pinggiran kampus IAIN. Sebagai mahasiswa, saya tidak banyak bergaul dengan para begundal, keluarga miskin dan anak-anak terlantar di sekitar kampus. Kegiatan kami bergerak dari satu wacana ke wacana lain. Sesuatu cerita besar.
Lalu, apakah sekarang saya masih sama? Ya, tak berubah. Bahkan, lebih naif, karena kami banyak menghabiskan waktu di meja makan, kasak kusuk tentang mereka yang harus dilawan karena tak ingin bersama kami lagi, permainan, gosip dan hampir tak ada keinginan untuk memulai 'kerja' kecil dengan menyapa buruh Indonesia yang nestapa.
Ah, sementara, saya berada di depan komputer di ruangan yang sejuk dengan radio menemani membaca, sebenarnya saya telah menjauhkan diri dari mereka yang teraniaya. Seharusnya, saya mendatangi mereka dan bertanya apakah gundah yang dialami telah raib?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment