Di ketinggian, saya melihat butiran hujan nampak jelas di sekitar sinar lampu jalan. Tidak besar, memang. Tapi, itu cukup menenami berada di kasur menikmati Jentera Lepas Ashadi Siregar. Rasa malas sempat hinggap, namun tak mampu mengalahkan kaki untuk menikmati aliran air di selokan jalan menuju tempat makan.
Hidup seperti turut mengiringi gemericik air yang turun cepat di selokan. Tempat kami yang miring membuat selokan itu membantu untuk mengalirkan air ke bawah. Langkah kaki beradu dengan deru air. Payung menghalangi air menimpa tubuh, seakan saya telah menepis basah yang membuat badan tak nyaman.
Ya, saya mengalami dunia lain dalam perjalanan dengan hujan yang tak deras. Orang lain mungkin malas dan lebih suka mendekam di kamarnya.
Wednesday, April 19, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment