Dunia Kecil Kita
Judul Buku : A Brief History of Globalization: The Untold Story of Our incredible Shrinking Planet
Penulis : Alex MacGillivray
Penerbit : Carroll & Graf Publishers New York
Cetakan : 2006
Tebal : xiv + 338 halaman
Buku ini dimulai dari sebuah kutipan dari François-Maire Arouet ‘the Multitude of books is making us ignorant’. Sebuah awal yang provokatif untuk memulai diskursus tentang globalisasi. Benarkah dengan banyaknya buku yang membahas satu persoalan justeru mempurukkan kita pada ketidaktahuan? Ini karena Alex MacGillivray mengumpulkan data yang mencengangkan, yaitu ada 3.300 buku dalam bahasa Inggeris yang menguak tema globalisasi. Tidak itu saja, keberpihakan yang terbelah dalam menyikapi arus globalisasi pada dua kubu: pro dan kontra menambah rumit persoalan. Sebenarnya hal ini adalah sebuah respons yang alamiah terhadap isu tertentu. Lalu, mungkinkan mengambil posisi netral?
Dari pelbagai pendekatan, penulis membagi empat genre, pertama buku akademik oleh para sosiolog dan ilmuwan politik. Biasanya mereka mendaku bahwa fenomena ini adalah tidak baru, sangat menarik dan kompleks. Di sini, beberapa orang melihat adanya benturan Peradaban antara Kapitalisme Barat dan Islam. Kedua munculnya gelombang buku populer tahun 90-an oleh para pegiat dan wartawan yang melihat fenomena ini sebagai baru dan berdampak negatif dengan perusahaan antar-bangsa sebagai pemicunya? Mereka merapatkan diri sebagai kelompok anti-globalisasi. Ketiga adalah kelompok yang melihat globalisasi, sebagaimana ditegaskan Niall Gerguson, membuat barang lebih murah, orang lebih bebas, ekonomi lebih kuat dan kebudayaan lebih kaya. Dan terakhir adalah melimpahnya sejarah individu dengan judul seperti X: Y yang merubah dunia.
Sang penulis hanya ingin menambahkan sebuah buku yang bisa diakses pembaca umum untuk mencari tahu asal-muasal globalisasi dan kemungkinan ia akan muncul selanjutnya. Untuk membedakan dengan karya lain, sang penulis membatasi pada beberapa pertanyaan, dalam hal apakah sejarah globalisasi berbeda dengan sejarah dunia, apakah globalisasi adalah benar-benar cara baru untuk melihat dunia, atau ia tidak lebih daripada kata baru untuk imperialisme, kolonalisme dan kapitalisme? Siapa yang berada di balik globalisasi, apakah ini benar-benar sebuah fenomena Amerika? Sejauh mana kemajuan globalisasi? Akankah ia mencapai sebuah titik puncak (tipping point), kapan dunia akan mengalami globalisasi sepenuhnya? Jika demikian, kapan? Apakah globalisasi sesuatu yang baik atau buruk? Lalu siapakah yang menjadi pemenang atau pecundang?
Ragam Definisi
Biasanya pembahasan sebuah konsep dimulai dari definisi dan lagi-lagi ini menambah kebingunan karena satu sama lain menyatakan sisi berbeda dari kata yang sama. Bahkan secara tersirat, penulis sengaja mengutip sebuah pernyataan dalam majalah Spectator (5 Oktober 1962) globalization is indeed a staggering concept (sesungguhnya globalisasi adalah sebuah konsep yang membingungkan).
Bill Clinton mendefinisikan globalisasi dengan dunia tanpa tembok, Tony Blair mengatakan sebagai tak terelakkan dan sangat menarik, George Bush menyatakan ikatan perdagangan dan kepercayaan sementara George Monbiot mengungkap bahwa ia memungkinkan perusahaan untuk mengacungkan senjata pada pemerintah.
Sebagian lain justeru membuat imajinasi visual dan anekdot untuk memudahkan memahami istilah ini, yaitu seperti seorang laki-laki berdiri di tembok ratapan sambil memegang telepon gengam sehingga temannya bisa menunjukkan rasa simpati, atau video menayangkan Osama bin Laden menenteng senjata Kalainiskov dan pergelangan tangannya dililit jam Timex. Bukankah sebenarnya peristiwa semacam ini gampang ditemukan di dalam keseharian kita sendiri? Bahkan pada para pendemo pemboikotan produk asing mereka menggunakan celana dan sepatu produk luar, dan tak jarang adalah produk yang dikritiknya?
Pendeknya, ada dua tipe dasar definisi, yaitu tipe ekonomi ketat dan sosial yang longgar. Bagi, Paul Krugman, globalisasi adalah frase tempat segala macam barang untuk perkembangan dunia perdagangan, perkembangan hubungan antara pasar uang di negara yang berbeda dan banyak cara lain di mana dunia menjadi tempat yang lebih kecil. Secara lebih khusus, Joseph Stiglitz lebih memfokuskan pada penghilangan penghalang perdagangan bebas dan penyatuan lebih dekat ekonomi antar-negara.
Namun demikian, kata penulis, adalah perlu untuk mengetahui definisi yang lebih ketat tidak hanya berkaitan dengan ruang lingkup tetapi juga motif. Dengan kata lain, kita tidak hanya ingin mengenal kapan dan di mana, tetapi juga siapa dan mengapa? Sebab memang ragam definisi mempunyai implikasi pada konsep dan praktik dari globalisasi itu sendiri. Seperti ditegaskan di atas, untuk tidak terjebak pada definisi diperlukan sarana lain seperti imajinasi visual atua anekdot seperti di atas.
Banyak penentang dan juga pendukung globalisasi mengutamakan sebuah definisi yang ketat. Misalnya, Forum Internasional untuk Globalisasi, salah satu kelompok utama yang mengajukan alternatif dari globalisasi, mendefinisikannya sebagai dorongan dunia luas saat ini menuju sebuah sistem ekonomi yang terglobalkan yang didominasi oleh perusahan dan lembaga perbankan antara bangsa tidak bertanggung jawab bagi proses demokratis atau pemerintahan nasional. Sangat jelas, globalisasi dibatasi hanya pada persoalan ekonomi.
Sementara yang lain menolak fokus ekonomi karena terlalu sempit. Manfred Steger dari Universitas Illinois mengulas setengah lusin definisi yang lebih luas oleh para akademisi. Dia menyimpulkan bahwa globalisasi adalah sebuah proses sosial multidimensi yang menciptakan, melipatgandakan, membentangkan, dan menguatkan ketergantungan sosial dan pertukaran di seluruh dunia sementara pada waktu yang sama turut mengembangkan di dalam masyarakat sebuah kesadaran akan hubungan yang dalam antara lokal dan yang jauh di seberang (hlm. 5).
Kata global itu sendiri sebenarnya telah digunakan oleh kalangan akademisi Amerika pada tahun 1960-an. Meskipun pada kenyataannya, kata ini sebagai kata sifat bisa ditemukan di dalam Harper’s Magazine tahun 1892. Majalah ini menggambarkan seorang Monsieur de Vogüe, seorang Perancis yang gandrung berkelana. Dia pergi ke Timur dan Barat untuk mendapat ragam warna dan ide, minatnya adalah seluas semesta dan ambisinya, sebagaimana diucapkan sendiri, adalah menjadi ‘global’.
Sebenarnya kehendak-global adalah proses mental ingin melintasi dunia yang telah dimulai oleh Pythagoras pada abad ke-lima sebelum Masehi dan mencapai titik puncaknya dalam perjalanan Columbus dan Vasco da Gama pada abad kelima dan keenambelas. Namun, sumbangan pada arus global ini turut diramaikan oleh liyan yaitu, Yunani, Mongol, Islam, Cina, Belanda dan Irlandia (hlm. 11). Tampak, penulis memosisikan dirinya sebagai subjek dan di luar dirinya adalah liyan, sehingga egonya lebih mengemuka.
Beberapa Sesat Pikir
Menggunakan globalisasi sebagai loncatan untuk kapitalisme Amerika adalah menyesatkan. Seorang pemerintah militer Nigeria yang brutal di bawah almarhum Sani Abacha menggantung sembilan pegiat Ogoni, termasuk dramawan Ken Saro-Wiwa. Ini menimbulkan protes luas terhadap tuduhan Perusahan Minyak Inggeris-Belanda Shell. Pada waktu itu juga, Greenpeace (Pegiat Lingkungan) mempermalukan perusahan ini terhadap rencananya untuk
Selain itu, pembatasan globalisasi pada persoalan ekonomi juga tidak tepat. Ia juga meliputi kebudayaan global sebagai ketegangan dinamis antara identitas lokal dan ambisi global, apakah di dalam agama, seni, film, musik atau sepak bola.
Demikian juga, penyebaran agama-agama besar dunia, Kristen, Hindu, Islam, Budha dan Yahudi, seperti ditulis oleh penulis buku ini, tidak bisa dilepaskan dari peran penyebaran arus orang dan modal. Masing-masing telah menggunakan polanya sendiri dalam menyebarkan agamanya.
Akhirnya, fenomena yang paling dahsyat adalah kekuatan film, musik dan olahraga (penulis di sini menyebut sepak bola) sebagai katalisator yang mendekatkan seluruh emosi orang di dunia terhadap kebudayaan. Batas-batas antar-negara menjadi luruh dengan fanatisme terhadap penyanyi, selebritas film atau olahraga.
Namun demikian, pertukaran kebudayaan global mempunyai dua kecenderungan yang berlawanan. Di satu sisi, ia bisa menciptakan keseragaman dan di sisi lain ia meningkatkan kreativitas kanibalistik dan menyelamatkan peninggalan kebudayaan yang rentan musnah, Misalnya, bagaimana kolaborasi Mickey Hart, mantan penggebuk drum Gratefudl Dead dan Alain Jabbour, Direktur Amerikan Folklife Center mengeluarkan album dari musik pelbagai pulau di Indonesia.
Migrasi global pertama dimulai jutaan tahun yang lalu ketika sekelompok kecil manusia modern mulai menyebar dari padang rumput yang padat di Afrika Timur. Awalnya mereka bergerak sangat lambat – hanya beberapa kilometer dalam setahun. Salah satu motivasinya adalah pencarian buruan baru dan perkawinan dengan suku lain. Mereka menggunakan kaki dan perahu.
Jahe adalah komoditas migrasi pertama yang diperkenalkan oleh Spanyol pada Meksiko dan Jamaica pada abad keenambelas (hlm. 103) selanjutnya pala, karet, cengkeh menjadi rebutan para imperialis untuk diperdagangkan. Bahkan, tak jarang di antara mereka terlibat perang untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah ini.
Pemuja dan Penentang Globalisasi
Perlawanan lokalitas terhadap global dengan sendirinya muncul karena beragamnya praktik politik, budaya dan agama. Salah satu contoh, bagaimana keuangan global tidak akan menjadi tunggal sebab Islam dan Katolik menolak bunga (hlm. 191). Tentu saja, ini hal menarik untuk lahirnya pelbagai praktik transaksi. Bahkan bersatunya negara-negara Eropa telah memungkinkan penyatuan alat tukar yang makin menggerus dominasi dollar di benua Eropa. Tidak itu saja, Iran dan Malaysia mengusulkan dinar sebagai alat transaksi perdangangan internasional, sehingga dimungkinkan makin mengurangi kejayaan dollar di negara-negara Islam.
Dalam kurun waktu dekade ini, para pemrotes globalisasi berkumpul bersama untuk menolak sidang tahunan organisasi global seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Forum ekonomi Dunia dan G 7. Acapkali protes mereka berakhir dengan kerusuhan, seperti yang terjadi di Settle, Washington, Davos dan tempat lain. Yang mengenaskan, di Genoa, tempat kelahirkan Columbus, seorang demonstran muda mati ditembak polisi (Lihat juga hlm. 131).
Dari kekayaan informasi, buku ini tidak akan membuat kita makin bloon atau bingung tentang globalisasi, justeru makin membuat kita banyak tahu dan memberikan keleluasaan memilih. Jika, kita hanya dihadapkan pada posisi biner dalam menyikapi mondialisasi, kata lain yang digunakan untuk fenomena yang sama, justeru kita mengingkari kenyataan bahwa penegasan atau bahkan penafian sama-sama mengandung resiko menolak kenyataan. Kenyataan bahwa yang menempel pada diri kita, agama, pakaian, teknologi adalah akumulasi dari perjalanan panjang dan pertemuan kreativitas antara pelbagai bangsa di dunia.
*) Ahmad Sahidah
Pernah Mengajar Islam dan Globalisasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Mahasiswa Ph D Ilmu Humaniora USM Malaysia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment