Friday, December 23, 2011

Buku itu adalah Rindu


Rindu itu adalah perasaan akan sesuatu yang tidak ada di depan mata kita. Demikian pula, buku itu adalah jejeran huruf-huruf yang menerakan tentang ide yang belum diwujudkan. Oleh karena itu, seperti mendaki, untuk mencapai sesuatu, yang dalam buku Climbing: Philosophy for Everyone, mengapa orang ramai mendaki gunung-ganang (Kata majemuk ini sering digunakan di Malaysia, sebagaimana bukit-bakau, bukan bukit-bukit), apa sebenarnya yang kita cari? Jawabnya, because it's there.

Kebetulan Perpustakaan Sultanah Bahiyah UUM mempunyai beberapa lantai. Untuk menuju tempat di atas, saya harus menaiki tangga. Mungkin tak sama dengan mendaki, tetapi langkah kaki ini kadang tersendat bila ingin mengunjungi puncak gedung tersebut. Tanpa kerinduan, siapa pun tidak akan pergi ke ruangan yang berisi banyak bahan bacaan. Mungkin mahasiswa tak mengalami kesulitan untuk mencapai lantai 4, tetapi tantangan untuk menggapainya tak jauh berbeda dengan seorang pendaki yang harus mempunyi azam yang kuat untuk menuju mercu.

Oh ya, tentang rindu, mengapa kita menggunakan kata kenangan, tetapi jarang mengucapkan rinduan, tetapi kerinduan? Tentu, untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa melayari internet dengan membuka mesin pencari google atau yahoo. Namun, kalau langkah ini sering dilakukan, kita akan menumpuk penyakit pengetahuan, berupa kesegeraan mendapatkan maklumat tanpa usul-periksa. Ini tak jauh berbeda dengan kesukaan kita terhadap makanan mie segera (instant), enak di mulut, tetapi akan menuai bencana apabila selalu dilakukan. Oleh karena itu, mari kita tutup sejenak internet, lalu mencoba membaui buku 'apak' di perpustakaan!

9 comments:

Yuraaa said...

sepertinya buku itu emg rindu tuk dbaca ya (panggil apa ne mas atau pak ya??) pak j deh.Ketika semua org beralih k internet.

bbrpa yg lalu saya mengunjungi sekolah bergensing di kota PADANG, menemani teman penelitian ttg perpustakaan.
ketika teman saya menanyakan ttg ketersedian buku dan kira2 melengkapi atau tidak dg jumlah siswa.

petugas pustaka dg mudah menjawab.
"memadai" pdahal jumlahx sedikit.
di Internet lebih komplit katanya.
misalnya,nyari peta dunia. gag perlu pnjam atlas dpustaka. langsung konek di internet aja.langsung ditampilin.

iya seh, dstiap lokal dilengkapi dg LCD yg besar dan selalu konek dg internet.

Najib said...

Terima kasih atas inspirasinya pak,

M. Faizi said...

Senang sekali saya membaca tulisan ini. Tulisan-tulisan Anda selalu mengilhami saya untuk menulis lebih baik.

Ahmad Sahidah said...
This comment has been removed by the author.
Ahmad Sahidah said...

YouRha, kita pun kadang salah mewujudkan sek0lah bermutu hanya dengan menyediakan internet, padahal penggunaannya cenderung dibuat untuk membuka facebook, twitter, dan mungkin menulis artikel untuk blog yang dilakukan begitu saja, tanpa perenungan.

Apa pun, kita bisa memanfaatkan lebih baik teknologi ketika kita bisa mendorong pengguna untuk menggunakannya secara benar. Semoga!

Ahmad Sahidah said...

Najib, blog Anda juga adalah ilham bagi saya untuk memanjakan khayalan tentang dunia yang sempadannya telah runtuh.

Saya menunggu coretan Anda selanjutnya, agar cerita itu tak hilang ditiup angin.

Ahmad Sahidah said...

Gus Faizi,

Sesuatu yang tidak bisa lakukan adalah menulis sebaik Anda,yang berhasil menggabungkan kepiawaian dan kelakar dalam satu perenggan.

Semoga, santri Annuqayah akan meneladankan Anda sebagai panutan dalam kepenulisan (Untuk sementara saya tidak menggunakan kata meneladani).

syauqie said...

perasaan yg berbeza antara menelaah sumber bacaan menerusi internet atau melalui buku secara fizikal.. melalui buku rasanya lebih mndapat kepuasan seolah2 ianya seperti sebuah aiskrim.. kita akan cuba menikmatinya dengan sebaik mungkin kerana kita tahu, jika kita tidak manfaatkannya, asikrim itu akan cair.. lalu kita juga yg akan rugi.. =p

Jj said...

Buku itu adalah Rindu(bukan Rindu Nindi Noveria ya!), mahasiswa hari ini tidak mungkin menemukan rindu pada helaian buku kerana hari ini semuanya leka dibuai mukabuku. Usah diperhatikan orang lain, diri saya sendiri juga kurang berminat untuk membuka buku apatah lagi merinduinya. Kali terakhir saya bersungguh-sungguh mencari koleksi buku untuk dibaca ialah sewaktu di Tingkatan 5, itupun untuk program NILAM (setelah dipaksa oleh guru dan minat untuk mendapat mata tertinggi untuk NILA).

Hakikatnya, zaman sudah beralih jauh kehadapan. Mungkin 100 tahun lagi tiada lagi helaian buku di muka bumi. :-)

Puasa [17]

  Berhenti sejenak untuk membaca koran Jawa Pos , saya tetiba merasa lungkrah. Satpam kampus memutar lagu jiwang, pas Iklim dengan Hanya Sua...