Secara pribadi, saya menemukan 'indonesia' pada acara kemarin. Salut untuk seluruh panitia yang telah mengemas gawe seminar dan sarasehan menjadi kenangan yang cantik dan manis.
Indonesia Raya yang kita nyanyikan adalah penanda bahwa kita punya rumah yang selalu dirindukan. Tambahan lagi, adik-adik kita membawakan lagu Rumah Kita, yang dipopulerkan oleh Ahmad Albar, benar-benar mampu menyihir saya akan kampung halaman. Meskipun beratapkan jerami dan beralasan tanah, ia tetap rumah kita. Sebuah metafor yang agak melankolik, tapi kita merasa menemukan bahasa yang menyentuh, yang menggerus pongah.
Pembacaan puisi oleh Aziz dan Cut yang mendeklamasikan ulang kegeraman Kyai Mustafa Bisri terhadap carut marut bangsa dan diiringi petikan gitar oleh Edo makin mengukuhkan pesan teks agar kita memproklamasikan kembali kemerdekaan, karena penjajah masih tak beranjak dari dwipa nusantara.
Meskipun, tak jarang dalam acara seperti ini terlontar kekesalan pada aparatus negara, itu tidak berarti kita sedang mencari 'kambing hitam', tapi ingin mengenal pasti (bahasa Malaysia) masalah yang sedang menggelayuti tanah air dan tentu kita semua akan menanggungnya bersama. Atau, jangan-jangan kita yang alpa sehingga bangsa kita selalu dirundung malang? Lebih dari itu, pengucapan tentang nestapa sebenarnya cara mudah kita untuk tidak selalu merasa didera. Hannah Arendt pernah berucap, "ketika penderitaan diceritakan, sebenarnya ia telah tertanggungkan." Indah, bukan?
Nah, setelah kita bisa mengidentifikasi masalah, sudah waktunya kita bekerja. Ini telah dimulai oleh lima mahasiswa yang telah membentangkan karyanya. Mas Baim, Mas Hilal, Ibu Hamidah, Mbak Erna, dan Mas Nicky dengan rela hati berbagi dengan kami. Mereka adalah sarjana yang mempunyai komitmen intelektual yang kukuh.
Ruangan DK A yang dingin berubah hangat ketika film Gie ditayangkan. Terus terang, saya harus memeras ingatan untuk mencocokkan dunia filmis dengan buku Catatan Harian sang Demonstran (Jakarta: LP3ES, 2005). Ada jurang yang menganga antara bahasa gambar dan buku. Namun demikian, secara keseluruhan, film itu telah berhasil melengkapi imajinasi saya tentang akar keindonesian yang sekarang mulai kelimpungan diterjang globalisasi (duh, setan gerangan apakah ini?)
Ternyata, walaupun disatukan oleh darah yang sama, kita mempunyai asumsi yang berbeda tentang sikap patriotik menghadapi serbuan imperialisme baru, kapitalisme neo-liberal. Nasionalisme susah diterjemahkan menjadi tindakan. Tetapi, kita masih mendapatkan titik temu yang akan menggerakkan langkah bersama, berdikari dan mencintai produksi negeri sendiri. Tentu saja, pada tataran praksis, ini adalah sulit diwujudkan. Namun, haruskah kita menyerah?
Keharuan saya tidak hanya bergetar ketika menyanyikan lagu kebangsaan, tetapi kehadiran mahasiswa senior yang telah menggenapkan kesatuan sebagai pelajar Indonesia di negeri Jiran. Bagi saya, mereka adalah pemantik semangat untuk adik-adik kita.
Oh ya, penanda buku yang diberikan oleh panitia kepada peserta selalu mengingatkan saya bahwa tak ada yang lebih membahagiakan daripada kebersamaan. Maaf, saya selalu mengucapkan ini dalam banyak kesempatan, karena sikap istiqamah untuk melafazkan adalah cara yang baik agar ia tidak raib oleh angin kejahatan.
Ahmad Sahidah
Anggota PPI USM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mainan
Mengapa anak perempuan bermain masak-masakan dan anak lelaki mobil-mobilan? Kata tanya mendorong mereka untuk berpikir. Pada gilirannya kita...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment