Kemarin, 23 April 2007, diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Mungkin tak banyak yang merayakannya sebagaimana Tahun Baru yang gegap gempita, mewah, gebyar dan penuh antusias atawa hari Valentine yang kerapkali diselingi degup dan debar jantung.
Ya, kita tak perlu melakukannya seperti pesta, sebab membaca itu mengasup jiwa dan minda. Lebih jauh, membaca sebenarnya mengubah hidup kita.
Biasanya, kata yang terkenal untuk mengenali seseorang adalah mendefinisikan “kamu sebagai apa?, ada yang mengatakan “kamu adalah siapa yang kamu temui”, “kamu adalah apa yang kamu makan”, dan yang paling menggugah “kamu adalah apa yang kamu baca”.
Jika kita membaca buku seni dan sastera kita telah menahbiskan diri sebagai seorang yang menyukai estetika, sehingga dunia dipandang sebagai keindahan. Kalau buku yang dibaca adalah karya para ulama, maka sang pembaca telah mengidentifikasi diri sebagai bagian dari pegiat agama yang ingin dunianya tak melulu dibekap oleh ihwal materi. Andaikata buku bacaannya dikarang oleh tokoh Kiri, semisal Marx, Gramsci, atau Tan Malaka, maka kita telah memosisikan diri sebagai mahasiswa kritis yang siap melawan kekuasaan tiranik dan kaum borjuasi yang menindas. Singkat kata, buku akan menggerakan kita untuk melakukan sesuatu. Jika, ia tidak mampu mendorong kita mengepalkan tangan, mungkin saja kita gagal memahaminya. Ya, membaca akan membuat kita mempunyai komitmen dan bertindak atas nama sebuah keyakinan.
Kemudian, bagaimana dengan saya? Saya membaca semuanya agar tidak terperangkap oleh 'kategori'. Ini didasarkan pada pesan QS al-Mujadilah:11 bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan mereka yang berilmu. Secara semantik, kata iman dan ilmu mempunyai hubungan erat. Tanpa iman, ilmu hanya memenuhi hasrat kognitif. Sebaliknya, iman tanpa ilmu tak lebih daripada kepercayaan tanpa roh. Hampa. Agama menghendaki akal budi, bukan sikap pasrah dan taklid (seperti kerbau yang dicucuk hidungnya). Kemana angin bertiup, ke situ kita mengikut.
Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru. Semua orang pun telah tahu. Tapi, pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa pengetahuan ternyata tidak cukup membuat kita tergerak untuk melakukannya? Taruhlah, kita yakin bahwa buku adalah gizi, tetapi pernahkah kita melahapnya setiap hari? Jika, ya jawabannya, kita akan sehat jiwa. Apakah tak perlu sehat raga? Saya tak perlu menjawabnya, sebab kita di sini termasuk orang yang cukup makan.
Ahmad Sahidah
Penikmat Buku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment