Thursday, January 10, 2008

Memelihara Warisan, Menangguk Pesan

Kontroversi hilangnya lima arca batu koleksi Radya Pustaka menyeruak ke permukaan. Boleh jadi ini karena melibatkan orang ternama atau memang ada keinginan agar kekayaan bangsa itu tidak dijarah oleh rakyatnya sendiri. Malangnya lagi, jika khazanah kekayaan nusantara dibawa ke luar negeri yang akan makin menjauhkan masyarakat dengan budayanya sendiri.

Tentu, kita berharap pihak berwenang akan mampu menyelesaikan masalah ini dan berupaya untuk terus mencegah kemungkinan komersialisasi benda-benda bersejarah pada masa yang akan datang. Meskipun, usaha ini seperti menegakkan benang basah karena hampir terjadi di seluruh pelosok tanah air. Oleh karena itu, peran serta masyarakat untuk turut menjaga peninggalan bersejarah sangat penting.

Boleh dikatakan warisan berupa patung mungkin bisa diganti yang palsu untuk mengelabui dan tidak akan dipersoalkan jika tidak ada orang yang menggugatnya. Lalu bagaimana dengan nasib manuskrip yang masih sepenuhnya belum dikoleksi oleh perpustakaan dan museum kita? Tidakkah ia akan hilang dan akhirnya kita harus mengemis kepada orang lain untuk membacanya?

Kita boleh iri dengan negeri Jiran yang mempunyai departemen khusus untuk menangani warisan di bawah naungan departemen Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia yang dipimpin oleh Dr Rais Yatim, yang kebetulan masih berdarah Minangkabau. Selain itu, perpustakaan dan para sarjananya dengan giat memburu naskah-naskah Melayu kuno.

Tragedi Kehilangan atau Penemuan

Laporan Kompas dalam halaman Humaniora (12/12/2007) bertajuk “Malaysia Terus Incar Naskah-naskah Melayu“ menghentak kesadaran kita karena dibubuhi subjudul “Praktik "Pencurian" Produk Ekspresi Budaya Harus Dibendung“. Tentunya, ini akan menambah daftar panjang dosa-dosa negeri jiran terhadap saudara serumpunnya.

Tetapi, kita tidak serta merta melihat persoalan di atas hitam putih dan mengesampingkan tafsir lain. Bagaimanapun, kalau kita membaca sejarah kesusasteraan dan keislaman Malaysia, kita akan menemukan banyak rekam jejak yang mengacu pada sejarah Nusantara, yang secara kebetulan sekarang berada dalam wilayah Indonesia. Selain itu, banyak para sarjana dan elit berkuasa di sana adalah keturunan imigran Indonesia yang berpindah ke Tanah Semenanjung pada abad ke-19.

Dalam buku Rais Yatim, Jelebak Jelebu Corat-Coret Orang Kampung (2004), secara terang benderang menceritakan bagaimana budaya Minangkabau sangat kuat berbekas di negeri bagian Negeri Sembilan Malaysia hingga sekarang. Bahkan, beliau secara lugas masih menyatakan bangga sebagai pewaris kebudayaan ranah Minang. Lalu, apakah eksistensi kebudayaan Minangkabau yang berada di seberang absah? Dan mereka berhak untuk menegaskannya bagian dari Malaysia?

Menyelamatkan Warisan Kita

Makin derasnya pengaruh luar terhadap kehidupan berbangsa tentu menuntut kita untuk kembali ke masa lalu. Karena di sini kita akan menemukan jati diri dan asal muasal sehingga tak mudah goyah dan terombang-ambing oleh serbuan kolonialisme identitas baru.

Pengalaman saya pribadi mengadakan penelitian terhadap naskah lama yang dianggap karya kesarjanaan Islam paling awal di Nusantara menunjukkan bahwa kita telah banyak kehilangan kekayaan sendiri. Manuskrip Bahr al-Lahut yang ditulis pada abad ke-12 M didapatkan dari Perpustakaan Negara Malaysia. Sementara 7 versi lainnya didapatkan dari Perpustakaan Universitas Leiden dan harus membayar 72,40 Euro. Sebuah harga yang sangat mahal.

Sebagai pewaris dari kekayaan Nusantara, seharusnya kita mempunyai tanggungjawab untuk merawatnya agar tidak punah atau raib dijarah tangan-tangah jahil. Paling tidak, jika kita tidak mendapatkan naskah aslinya, museum dan perpustakaan nasional di Indonesia mendapatkan turunannya. Apalagi Konvensi Wina 1983 tentang Suksesi Negara mewajibkan pengalihan arsip dari penguasa lama ke penguasa baru.

Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana memahami warisan dan belajar kearifan darinya. Dari naskah Bahr al-Lahut di atas yang saya teliti menunjukkan bahwa corak Islam pertama yang dibawa ke Nusantara dipengaruhi oleh ajaran Syi’ah. Lebih dari itu, penulisnya telah mengakrabi pemikiran falsafah Yunani. Tentu hal ini bisa dipahami karena menurut sejarawan tersohor Philip K Hitti, sejak masa pra-Islam, Islam dan pasca Islam saling berbagi tradisi budaya dengan Barat dan Yunani-Romawi. Lalu, masihkah kita menghabiskan banyak waktu dan energi mencari ajaran murni yang steril dari pengaruh yang lain?

Mungkin, pernyataan awal yang memantik rasa ingin tahu pembaca adalah penegasan Abdullah Arif, sang penulis, bahwa dengan membaca karya di atas seseorang akan mengecapi kebahagiaan. Pendakwah ini hanya memberikan tiga kewajiban, yakni shalat, puasa dan tafakur yang akan membuat seseorang bahagia dan ini lebih baik dari seribu tahun ibadah. Yang terakhir tentu saja mengandaikan penguasaan pengetahuan.

Dari pengalaman ini, paling tidak ada tiga pesan utama yang bisa diperoleh, yaitu pertama corak Islam yang datang ke Nusantara sangat beragam, sesuai dengan pendakwah yang menyampaikannya. Kedua, pengetahuan sangat penting dalam menjalani hidup dan ketiga keterbukaan tafsir terhadap ajaran agama yang memungkinkan keterlibatan subjektivitas manusia.

Kesadaran sejarah masa lalu akhirnya menjadi sangat berharga untuk mengenal kembali jati diri di tengah kuatnya arus masuknya ideologi transnasional. Dengan menengok warisan masa lalu yang telah lama diterima dan menjadi bagian alam sadar bangsa ini, maka kita telah memelihara kepribadian kita sendiri. Semoga.

Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia

No comments:

Syawalan Kesepuluh

Senarai keinginan ditunjukkan di X agar warga yang membaca bisa menanggapi. Maklum, buku ini tergolong baru di rak buku Periplus mal Galaxi....