Tuesday, January 01, 2008

Tahun Baru dan Bacaan Lama

Satu hari menjelang pergantian tahun, saya berniat untuk membuat perubahan dalam banyak hal. Tampaknya, bukan hal baru, sebab sebelumnya selalu begitu. Komitmen yang kemarin pun raib bersama waktu.

Meskipun, saya bisa melacak kembali apa yang pernah diniatkan untuk melangkah lebih meyakinkan di hari-hari mendatang, tetapi alat ukurnya tidak ada. Ya, kita selalu memasang harap di depan dan kemudian lupa apa yang harus dikerjakan hari ini. Tiba-tiba, asyik dengan rutinitas, yang menyebalkan. Sekarang, saya harus membuat penanda bagaimana menilai tahun ini agar lebih produktif dalam menulis dan mewujudkan gagasan yang berselerak di benak pada ranah konkrit.

Kemarin, sengaja saya agak lebih lama mencari buku bacaan untuk malam tahun baru. Paling tidak ada lima buku ada di tangan untuk dipinjam. Salah satunya yang membetot perhatian adalah sebuah novel Student Hidjo yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo, yang berlatar belakang gerakan nasionalisme tahun 1918. Betapa sederhananya realitas yang digambarkan pada masa itu oleh sang pengarang, namun justerus dilukiskan secara bertele-tele. Meskipun, saya melihat ada nada protes terhadap Belanda yang diselipkan di antara alur, dialog dan watak sang tokoh. Sepertinya, saya diajak untuk bersabar menyerap isi cerita. Tak perlu tergesa-gesa menohok lawan, yang mungkin saja bisa menikam diri sendiri.

Buku lain yang cukup membuat merinding adalah Penggal Kepalamu dan Persembahkan pada Sang Murshid oleh Maya Safira Muchtar. Sebuah pengakuan jujur tentang hitam putih sang penulis tentang masa lalu, kekinian dan harapannya di masa yang akan datang. Namun, bahasanya yang acapkali dirembesi metafora dan puitik justeru memberikan nuansa. Bagaimana sang tokoh yang menceritakan perjalanan panjangnya akhirnya bersimpuh di hadapan sang Guru (Anand Krisna) dan mengantarkannya ke hadirat Tuhan.

Di tengah jutaan huruf yang diterakan di buku, tentunya saya harus mencari kata kunci yang bisa dipegang erat untuk menjalani hidup selanjutnya. Paling tidak, saya menemukannya pada kesungguhan, disiplin, dan keyakinan sebagai kata yang harus mendapatkan perhatian sungguh-sungguh. Dalam hal apa saja, ketiganya akan memerantarai kita menuju keinginan, meskipun tidak dengan sendirinya menjamin terwujudnya hasrat. Namun, bekasnya akan terasa lebih dalam dan menghunjam.

Lalu, bagaimana dengan pesan yang tidak ditoreh dalam kertas? Bukankah pada bebukitan yang tampak kukuh kita bisa menyerap pesan Tuhan? Pada burung berwarna hitam yang acapkali hingga di bibir tembok depan jendela dengan nyanyiannya yang jernih setiap pagi dan menjelang malam? Di tengah ragu, saya coba untuk menerakan makna, bahwa hidup itu harus mengalir dan mengikuti alurnya. Jika melawan arus, saya akan tergerus.

Pekerjaan di atas boleh dikatakan disangga oleh otak, jiwa dan hati kita. Apakah cukup? Tidak. Badan atau tubuh kita yang menyangga jiwa juga harus sejahtera. Tidak hanya makan, tetapi juga sukan. Makanya, saya mencoba untuk menambah putaran jogging saya di stadium agar tubuh ini makin kuat mengusung 'gelegak' batin. Sakit kepala yang kerap mendera memang mulai berkurang. Bahkan, kemarin saya tidak lagi menelan panadol ketika pening hinggap.

Membuka diri pada orang lain juga cara paling ampuh untuk tidak terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Jika berada di lift, saya tak jarang menyapa dan berkenalan dengan orang lain yang sama-sama ingin ke surau. Sudah tak terhitung nama yang dikantongi. Sebagian ada yang lupa, namun tidak akan menghilangkan peristiwa kami pernah bertegur sapa. Tak banyak kata, tetapi itu lebih dari cukup membuka percakapan, yang mungkin di lain hari akan lebih panjang dan berkesan.

Seperti biasa, di kamar, selalu saja saya ditemani oleh lagu-lagu lembut. Rasanya, suara sang penyanyi mewakili kehendak hati untuk melihat dunia yang romantik, sahdu dan tentram. Tak ada hingar bingar kekerasan dan pengrusakan. Meskipun, kadang saya juga mendengarkan lagu keras, seperti Bat Countrynya Avenged Sevenfold, untuk menaikkan adrenalin agar jemari ini masih mau menari. Tidak lebih.

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...