Sunday, February 24, 2008

Merayakan Perbedaan di Panggung

Semalam, saya menikmati persembahan kebudayaan di Dewan Tunku Syed Putera, yang digelar oleh AISEC (untuk keterangan lebih jauh tentang organisasi ini baca http://aisec.org). Sambil menunggu cemas, saya ingin juga menikmati kembali tarian Saman, tetapi sayang ia tidak dipanggungkan. Malah, acara semalam lebih banyak didominasi oleh kebudayaan Cina dan Jepang. Hanya satu penampilan Melayu, Zikir Barat. Apa yang dapat saya petik dari pagelaran itu adalah harmoni dalam keragaman.

24 Seasonal Drum asal Cina yang ditampilkan sebagai pembukaan adalah instrumentalia yang melibatkan banyak orang. Kekompakan mereka menabuh beduk patut diacungi jempol. Sang pemimpin berdiri di tengah barisan depan menuntun para pemain lainnya untuk memukul kulit dengan irama dari rendah hingga tinggi, seakan-akan mereka sedang mendaki ke puncak. Saya pun hanyut terbuai oleh bebunyian ritmik. Mata ini pun juga terbetot oleh kelincahan mereka silih berganti bertukar beduk dan atraksi gerakan tubuh turut menambah elok pemandangan. Uniknya, pemainnya juga ada yang mengenakan jilbab dan ini tak menghalangi mereka untuk tampil energik. Saya merasa digedor-gedor ketika mereka memukul keras sehingga atap gedung seperti bergetar. Adakah tembok itu juga merasakan hal yang sama dengan saya?

Selanjutnya, Song of Ocean adalah tarian yang menggambarkan riak yang tenang menghanyutkan dan ombak ganas yang menggulung. Tubuh lentur penari seakan-akan mengusung peristiwa laut ke atas panggung. Sebuah pertunjukan yang sempurna dalam menyimbolkan peristiwa alam. Kata-kata tidak cukup untuk menggambarkannya, karena simbol mempunyai kekuatan sendiri. Mereka seperti menyihir saya untuk tak berkedip.

Saya pun pulang dengan hati riang karena memeroleh hiburan yang menyegarkan. Tidak itu saja, ia makin menebalkan keyakinan saya bahwa perbedaan itu tak perlu ditabukan, malah sebaliknya, dirayakan. Di sini, kita akan mereguk keindahan tak terpermanai. Perbedaan tak perlu ditekuk hanya karena kita merasa apa yang menjadi milik kita telah cukup. Menengok milik orang lain justeru akan mengkayakan pengalaman raga dan batin kita dalam menjalani hidup. Tuhan itu tidak hanya ada dalam teks tertulis, tetapi juga di seluruh pelosok ufuk dan diri manusia. Masihkan kita memaksakan bahwa pemahaman kita akan sesuatu sebagai satu-satunya 'kebenaran' dan menampik kebenaran yang lain? Duh, jika begini keadaannya, ini adalah pertanda bahwa kita telah memenjarakan hidup yang fana ini ke dalam kepicikan.

Ahmad Sahidah
Penikmat Seni Panggung

Nota tambahan: ketika saya menggerakkan jemari di atas komputer, instrumentalia Kitaro dengan setia menemani. Jika Agreement menyentak, Caravansari mengoyak.

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...