Memasuki hari ke-5 setelah pemerintah menaikkan harga bensin dari RM 1.92 (Rp 5452.8) menjadi RM 2.70 (Rp 7668), harga-harga barang keperluan yang saya beli belum naik. Namun, kawan saya yang belajar ekonomi menegaskan bahwa dalam minggu kedua kebutuhan sehari-hari akan merangkak naik. Kemarin, saya masih membayar RM 4.5 (Rp 12.780) untuk seporsi pecel lele di warung Jawa. Saya tak lagi memesan segelas es teh karena akan ditambah dengan RM 1 (Rp 2840). Lagi pula, pagi-pagi biasanya saya telah mengasup minuman yang bergula.
Selalu saja perbincangan saya tentang alasan kenaikan ini dengan kawan-kawan karib Melayu, Fauzi, Muzammil, Azrin, dan Rahman hanya menambah gelap mengapa pemerintah menaikkan harga bensin (di sana kadang disebut bahan api). Belum lagi rumor yang berkembang sehingga tak membuat saya mengerti justeru mati (kutu). Permintaan orang nomor satu di Malaysia, Abdullah Badawi, agar rakyatnya mengubah gaya hidup adalah sesuatu yang wajar. Mungkin, inilah kesempatan bagi mereka, termasuk saya, menelisik kembali pola hidup yang dijalankan selama ini.
Bahkan, sebelumnya ISIS (Institute of Strategic and International Studies - untuk lebih jauh baca di situsnya http://isis.org.my/) pernah berkunjung ke kampus Universitas Sains Malaysia membincangkan kenaikan beras, jauh sebelum gonjang ganjing kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), dan menyarankan agar masyarakat mengkonsumsi makanan pokok selain beras, seperti ubi. Lalu, apa kata teman saya yang mengikuti acara ini, emangnya mereka, para elit, mau memberikan contoh makan ubi sebagai kebutuhan karbohidrat? Aha, satu tempalak yang bisa diarahkan ke siapa saja.
Jeda: Sempurna oleh Andra and the Backbone (radio hot fm)
Kebetulan radio Hot FM mengangkat isu jalan keluar menghindari akibat buruk dari kenaikan BBM dengan kerja sambilan. Saya tahu bahwa banyak dari mereka secara tersirat menyayangkan kebijakan pemerintah, tetapi saya juga memahami bahwa subsidi itu tak baik, seperti disampaikan oleh Perdana Menteri hari ini di sebuah surat kabar. Ada dilema di sini. Untuk itu, dengan tertatih, saya mencoba memahami fenomena ini, seperti membaca pendapat banyak orang, seperti Tan Siok Choo, 'Petrol -rhetoric vs reasoned arguments di The Sun'. Katanya, saran banyak orang agar pemerintah menaikkan harga minyak secara bertahap memang tampak menarik. Tapi, pengalaman India menunjukkan sebaliknya. Di sana, kenaikan 10% tetap memicu penolakan dan demonstrasi terus menerus. (lebih jauh baca di The Sun, June 9, 2008).
Biarlah elit, pengamat dan orang awam bertikam lidah. Saya hanya bisa mengais hikmah yang berserak. Saya harus mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. Puasa bukan pilihan saya. Lagi pula, puasa berarti tidak makan, bukan? Memasak sendiri bukan pilihan karena hanya membuang waktu untuk membaca dan menulis. Bagaimanapun, Malaysia lebih 'cerdas' menangani ekonomi di tengah tekanan membumbungnya harga minyak dunia yang kemarin bertengger di angka $ 138 per barrel. Pemerintahnya menggelontorkan insentif RM 500 juta untuk petani dan nelayan, sementara Indonesia menyogok orang miskin dengan Rp 100 ribu untuk rakyat per bulan, yang hanya untuk hidup 4 hari di negara tetangga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment