kemarin, praktis saya bergulat dengan tumpukan barang-barang yang akan saya pindah ke rumah baru. Saya telah mengepak baju di tas besar, printer, menyisihkan kertas dan buku dalam tumpukan, sebagian ada yang sudah diikat. Malah sebagian saya bawa dalam perjalan untuk makan malam di Batu Uban, sate kambing, dan akan disimpan di kamar kawan karib, En Zailani asal Kelantan, di asrama internasional.
Siangnya, saya sebenarnya sudah makan di warung Jawa ini. Jam 11-an saya udah berangkat karena lapar mendera, setelah pagi harinya cuma diasup telor dan secangkir kopi panas. Celakanya, warung belum siap, Pak Darmo masih menyapu dan menata meja kursi. Namun, pelayan warung ini mempersilahkan saya menunggu dengan mengambilkan kursi dan meja. Saya pun duduk dengan melanjutkan membaca 24 Wajah Billy oleh Daniel Keyes.
Ibu warung menawarkan minum sambil menunggu pesanan siap, lalu saya jawab es teh. Pecel Lele, nasi, krupuk cukup membuat perut ini kencang. Tak lama setelah makan, hujan deras mengguyur. Untuk pertama kalinya, saya melihat air mengalir deras di depan pertigaan warung. Pemandangan yang mendatangkan keasyikan tersendiri. Mungkin karena kenyang, mata terasa berat. Saya pun terkantuk-kantuk dan akhirnya merebahkan kepala di meja. Hanya sebentar 'tertidur' saya terbangun, mungkin karena merasa tak nyaman 'lelap' di tempat umum. Hujan reda. Saya pun meneruskan membaca novel di atas.
Pulang dari Warung, saya mampir ke kampus. Meski hari Minggu, ada beberapa kawan Iran, di antaranya Mustafa dan Kazem, bertandang ke ruangan komputer tempat mahasiswa PhD dan master belajar, berselancar, dan tentu saja membual. Niat untuk menyelesaikan ulasan buku tak kesampaian, saya keluar dan ingin segera menyelesaikan pengepakan barang-barang yang masih belum kelar. Agar nanti saya sekembalinya dari Jakarta tidak direpotkan dengan pemindahan barang, saya menitipkan sebagian ke teman, Fauzi, yaitu satu tas besar dan pencetak (printer) Canon. Sementara pencetak HP saya titipkan ke Stenly.
Oh ya, semalam saya menukarkan uang receh RM 0,10 ke Ibu penjual sejumlah RM 50 (kira-kira Rp 140 ribu). Makan malam dengan kawan baik, Stenly Djatah, biasanya selalu diselingi dengan diskusi. Topik FPI dan Gus Dur adalah sebagian tema yang kami bahas. Teman yang sedang menulis pemikiran John Stuard Mill, Filsuf Utilitarian, memesan pecel ayam dan teh jerus panas. Lalu, kami pulang, tetapi saya mampir ke kamar kawan karib untuk meletakkan buku.
No comments:
Post a Comment