Sumber Wacana Suara Merdeka 24 Juni 2008
Without an intellectual community there is no demand for change in the fundamental forms of society (Syed Hussein al-Attas, 1997: 52)
SAUDARA Ruslani pernah menulis artikel berjudul ”Intelektual, Pencerahan, dan Keadilan” (Suara Merdeka, 10 Mei 2008) , yang merupakan sebuah gagasan tepat dan perlu mendapatkan uraian lebih dalam untuk menemukan intelektual yang bisa mencerahkan dan memperjuangkan kepentingan khalayak.
Tapi, siapakah dia sebenarnya? Meskipun sudah menyinggungnya dalam ihwal intelektual, Ruslani masih menyisakan ruang yang perlu diisi. Jika kemudian Anies Rasyid Baswedan diganjar sebagai intelektual berpengaruh, apakah itu berlebihan?
Di milis organisasi mahasiswa Indonesia Malaysia, penganugerahan itu sempat memicu perdebatan karena di luar dugaan. Malah, ada seorang mahasiswa yang menyodorkan nama Rama Pratama atau Fahri Hamzah —yang sebelumnya mengharu-biru reformasi— sebagai sosok yang lebih berhak. Namun Suyatno, mahasiswa PhD dalam ilmu politik, menyebutnya dagelan. Sebagian besar mahasiswa malah tak mengenal, siapakah Anies Rasyid Baswedan itu.
Sementara itu Ronald Rulindo menyebut Amien Rais lebih sesuai. Adapun Mas Tauran menyebutnya semua itu tak lebih sebagai cara jurnal bersangkutan mencari pasar di dunia ketiga. Saya sendiri tak mau terjebak pada isu siapakah yang lebih pantas, tetapi ingin lebih jauh mengurai siapakah sejatinya intelektual itu?
Memang Ruslani telah membicarakannya dengan memesona pada subjudul ihwal intelektual, yang merujuk kepada bacaan standar tentang dunia intelektual, seperti karya Antonio Gramscy, Julien Benda, Edward Said, dan Noam Chomsky. Namun, sebuah karya yang lebih lengkap dan mendalam bisa digunakan untuk melengkapi hal ihwal intelektual, yaitu karya Edward Shills, The Intellectual and the Powers and Other Essays (1972).
Menurut Shills, intelektual adalah orang yang memahami nilai-nilai tertinggi (ultimate values), baik yang bersifat kognitif maupun estetik, demikian pula hasratnya akan kesepaduan. Dia mempunyai kepekaan terhadap hal yang suci (the sacred), dan mencari serta hal yang acapkali berhubungan dengan simbol-simbol keseharian bukan konkret dan referensinya jauh melampaui ruang dan waktu. Bagi saya pribadi, Arif Budiman memenuhi kriteria itu; betapa pun dia tidak mendapatkan penghargaan yang dianugerahkan kepada Anies Rasyid Baswedan.
Intelektual Indonesia
Persoalan intelektual biasanya dibahas secara mendalam di dalam disiplin history of Ideas atau sosiologi pengetahuan. Jika Ruslani mencoba menyederhanakan hanya sekadar definisi yang ideal dan realistik, sebenarnya kenyataannya lebih rumit dibandingkan dengan yang telah diungkapkan oleh Julien Benda dan An-tonio Gramscy. Bagaimanapun dua hal yang terakhir itu selalu dikutip dalam perbincangan ihwal intelektual.Intelektual tidak saja mengurus gagasan, tetapi juga menghidupi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan apakah kaum intelektual di Indonesia bisa menghidupi dirinya? Boleh dikatakan mereka betul-betul ditantang oleh keadaan yang tidak bersahabat dengan kerja-kerja intelektual. Uang lebih banyak mengalir pada usaha untuk memenangkan ”politik” dan ekonomi, dan akhirnya menyandera kewarasan nurani dan akal budi.
Jika merujuk kepada Edwards Shills, intelektual itu boleh jadi adalah wartawan, dosen, seniman, dan siapa pun yang di dalam konteks tersebut tak bisa hidup layak karena harus berjibaku dengan pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari.
Akankah mereka mampu melihat persoalan secara jernih? Tidakkah mereka riskan untuk menjadi partisan? Agak susah menemukan intelektual seperti Arif Budiman yang masih menjaga kemandirian dan kesederhanaan di tengah godaan bisa dibajak dan disuap?
Ignace Lepp dalam bukunya The Art of being an Intellectual (1968: 9) menyatakan, The true intellectual is one who goes far beyond the limits of his specialty. Itu adalah pernyataan yang paling tandas tentang sosok intelektual.
Ia mengandaikan orang yang tidak terjebak pada keahliannya sendiri, tetapi mencoba menengok perspektif lain agar bisa mendalami perincian sebuah masalah. Selain itu, juga mengandaikan pemahaman interdisipliner terhadap persoalan masyarakat.
Keterbukaan pada disiplin lain sekaligus mensyaratkan sebuah tim yang terdiri atas berbagai keahlian dalam melihat satu masalah. Contohnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak hanya dilihat dari sisi perhitungan ekonomi, tetapi juga biaya sosial (social cost) yang justru kadang luput dari perhatian dan berdampak sangat luas dalam kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendek kata, sosiologi, antropologi, politik, agama adalah sudut pandang yang juga dimanfaatkan untuk mengantisipasi efek domino yang mengakibatkan kesulitan hidup masyarakat.
Tugas Mulia
Dalam kerangka itulah, kebersamaan mereka yang mengaku intelektual dari pelbagai disiplin untuk tak lagi larut dalam ingar bingar media, tetapi justru melakukan tindakan konkret yang mencerminkan pemikiran bersama. Jika pilot project itu tidak berhasil, maka mereka duduk kembali untuk mengevaluasi keberkaitan teori dan tindakan. Singkatnya, ada usaha berkelanjutan dalam menyelaraskan buku teks dan dunia realitas. Seyogyanya, keberhasilan Mohammad Yunus dengan Gramen Bank-nya di Bangladesh memberikan inspirasi kelompok intelektual, bagaimana komitmen dan kehendak mewujudkan ide dalam tataran konkret bisa dilakukan.Sayangnya, banyak intelektual yang aktif di organisasi keagamaan di Tanah Air lebih sibuk dengan mengusung ide-ide abstrak tentang pembelaan terhadap manusia, seperti pluralisme, nilai-nilai universal, dan perdamaian dunia. Seharusnya, masalah kemiskinan mendapatkan prioritas utama, karena kata Mahatma Gandhi, ”kemiskinan adalah kekerasan paling buruk”.
Tidak mungkin menegakkan nilai-nilai mulia yang mereka perjuangkan tanpa lebih dahulu memprioritaskan kehidupan masyarakat yang layak. Berkaitan dengan fungsi intelektual, hanya ada satu yang disepakati, yaitu sosial.
Seperti dikatakan oleh Talcott Parson, bahwa apa yang diharapkan dari intelektual adalah lebih memberikan perhatian kepada norma dan makna pola sistem simbolik dibandingkan dengan tindakan atau kepentingan dari sebuah sistem sosial agen yang ada, baik individu maupun kolektif.
Sayangnya, banyak kita temukan bahwa mereka yang secara formal berhak menyandang gelar intelektual menggadaikan kedudukannya untuk raihan sesat, baik materi maupun kedudukan.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita mendorong kaum cendekiawan, seperti Arif Budiman, untuk bersuara agar kaum cerdik pandai memikirkan kembali posisinya dalam pertarungan perebutan kekuasaan yang semakin kasar. Dengan sendirinya, kekasaran itu telah menyuburkan wacana yang berkembang di masyarakat dangkal dan karikatif.
Apatah lagi, jaringan intelektual yang selama ini mewarnai perebutan pemaknaan berafiliasi pada ideologi tertentu. Akhirnya, seperti apa yang dikatakan Virginia Held dalam Independence Intellectuals (1983), kita memerlukan intelektual yang menjaga nuraninya, meskipun ia harus menghidupi dirinya sebagai sopir taksi.(68)
–– Ahmad Sahidah, kandidat doktor Departemen Filsafat dan Peradaban, Universitas Sains Malaysia.
No comments:
Post a Comment