Saturday, July 12, 2008

Kabar Baik itu Mungkin Disalahpahami

Isteri saya mengkritik cerita saya di sini tentang kegiatan saya berjamaah di surau flat. Mungkin, penceritaan ini sebentuk narsisme yang tak baik bagi kesehatan. Namun, saya berkilah. Toh, saya juga mengungkapkan kehadiran jamaah lain, pekerja Pakistan yang juga tinggal di satu rumah susun. Malah, saya menyebut nama segala, seperti Naim, Sayyidul Islam, dan Ali.

Pagi ini, kami berdiskusi bahwa saya berjamaah maghrib untuk sekaligus menjalin silaturahmi dengan warga flat. Lagi pula, saya paling banter mengunjungi surau yang 'tak terawat' itu waktu maghrib. Di sini, saya bisa saling bertukar sapa dan cerita. Lebih dari itu, saya yakin bahwa jamaah itu mempunyai implikasi sosial, tidak hanya batin pengamalnya. Betapa saya juga memberikan apresiasi pada mereka yang juga meluangkan waktu untuk bershalat bersama. Pendek kata, orang lain juga bisa melakukannya.

Di benak ini sekarang berkelebat, apakah yang harus kami lakukan agar surau itu tidak terbengkalai? Sesawang di langit-langit, sajadah yang apak karena tak dicuci, sampah di halaman yang tak sempat dibersihkan dan pagar tembok yang kusut karena lama tak disentuh dilabur cat putih menambah buram rumah Tuhan di sana. Padahal, saya melihat banyak penghuni Muslim di rumah tingkat itu. Mungkin, saya akan membicarakannya dengan rekan jamaah, Pak Agung, yang juga setia merawat surau tersebut.

1 comment:

Ahmad Sahidah said...

Ternyata nama Sayyidul Islam adalah Syahidul Islam, seperti yang tertera dalam buku catatan di surau.

Demikian, kesalahan telah diperbaiki.

Puasa [17]

  Berhenti sejenak untuk membaca koran Jawa Pos , saya tetiba merasa lungkrah. Satpam kampus memutar lagu jiwang, pas Iklim dengan Hanya Sua...