Thursday, July 10, 2008

Masih tentang Hujan

Hujan adalah peristiwa biasa, seperti panas terik dan gelap malam. Tapi, di Pulau Pinang, tempat saya tinggal, ia adalah berkah yang tak terkira. Betapa saya bisa menghitung dengan jari peristiwa air tumpah dari langit. Belum lagi, curahnya tak banyak dan tak lama, sehingga air itu tak meresap dalam ke bumi.

Semalam, sebelum jam 11 tepat, tiba-tiba saya mendengar bunyi gemerisik air menimpa kanopi rumah di bawah lantai 8, tempat kami bermukim. Ya, hujan! Saya 'melonjak' girang, meski tak perlu berdiri dan menghentakkan kaki. Hujan deras dan tak sebentar seperti biasa. Untuk merasakannya, saya membuka nako jendela, menikmati butiran air jatuh di sela cahaya lampu penerang parkir flat. Lama, kami berdiri untuk merasakan dingin yang mulai menyelusup lubang di sela kaca nako.

Karena tak tidur siang, saya beranjak tidur awal dan terus menikmati bunyi hujan yang makin lebat. Di benak, saya membayangkan bahwa pagi esok adalah keindahan, karena pepohonan akan lebih hijau dan tanah basah mengabarkan keriangan. Ya, tak elok, tanah itu kering kerontang. Dengan basah, tanah itu akan merasakan nyaman, sebab tanaman mendapakan makanan.

Ternyata, pagi memang basah. Saya berangkat ke kampus lebih awal. Selain ingin mencecapi tanah basah, saya juga ingin memenuhi janji bertemu dengan kawan karib, Zailani dan Shaikh Abdullah di kantin kampus, Zubaidah. Di pertigaan jalan keluar flat, saya sempat melihat matahari bertengger di ufuk sana. Duh, seketika, saya merasakan cahaya lembut menerpa, tak hanya wajah tapi juga hati. Karena jarum bensin mendekati tanda merah, saya mampir ke pom bensin (di Malaysia disebut stesen minyak) Petronas. Dengan RM 5, saya mendapatkan bensin kurang dari 2 liter.

Sesampai di depan parkir kampus, saya melihat dekan Fakultas Humaniora, Prof Dr Abu Talib dan menunggu sebentar untuk bersalaman. Lalu, berlalu tak lama setelah beliau bilang, saya tak kelihatan, dan jawab saya, bahwa baru balik dari Indonesia. Beliau sosok yang ramah dan dekat dengan mahasiswa. Selain itu, beliau rendah hati (di sana rendah diri), tak menampakkan orang berposisi tinggi. Sebuah teladan yang patut direkam.

Seperti biasa, di ruang komputer kampus, saya membuka email, koran on line (pertama koran Tempo) karena ternyata versi on line baru dua hari yang lalu bisa diakses. Sayangnya, tulisan saya belum (tidak) dimuat. Kemudian saya berburu berita di sejumlah surat kabar dan tidak lupa meneliti artikel opini masing-masing koran.

Jam 8.50, saya menghampiri Zailani untuk bersama-sama menemui Shaikh di kantin. Di sana, saya memesan tosa, semacam kroket India, dan kopi panas. Sementara, Shaikh tak sarapan karena sedang berpuasa sunnah. Di sana, mereka berdua berdiskusi tentang penghakiman moral (moral judgement) di kalangan siswa sekolah menengah. Salah satu pokok masalah adalah pengertian moral dan akhlak yang bisa bertukar tempat, padahal keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Yang pertama mengacu pada tradisi Barat dan kedua pada Islam. Shaikh tidak mempermasalahkan penukaran tempat istilah dan bahkan menyarankan untuk menggunakan standar sendiri dalam pemberian pengertian terhadap moral, dengan catatan menggunakan kerangka Islami.

Hanya setengah jam kami berdiskusi, lalu bubaran.

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...