Mungkin agak terlambat, tetapi tetap mempunyai kesan yang dalam. Tadi, kawan baik saya, Mohammad Nasir dan Siti Hazneza, PhD Teknologi Industri dan penulis novel, membahas novel yang meledak di Indonesia. Dr Suhaimi memandu diskusi ini dengan menanyakan beberapa pertanyaan berkaitan dengan novel, seperti sastra Islami, motif pembaca dan teknik penulisan.
Saya hanya bertanya dan mencoba menghadirkan konteks mengapa novel ini menjadi novel laris dan digemari banyak orang. Bagi saya ada ideologi di dalamnya yang mendorong novel ini dicetak ulang hingga belasan kali. Namun, itu absah, sepanjang ia berjalan dalam alam keindonesian. Malah, saya mencoba untuk mempertanyakan mengapa perempuan dalam novel ini kelihatan lemah tak berdaya? Adakah ini yang dikehendaki 'ajaran' Islam yang ingin diperjuangkan oleh penulisnya, Habiburrahman El Shirazy?
Kehadiran mahasiswa S1 sastera menambah marah acara perbincangan ini. Salah seorang dari mereka bertanya jarak antara film dan novel yang menganga, apakah karena ini campur tangan produser, yang ingin membantasi napas keagamaannya, sehingga isi novel yang sesungguhnya tidak muncul? Sebuah pertanyaan yang bagus. Bagaimanapun, visualiasi novel ke dalam film akan menyebabkan penyesuaian, pemotongan dan pengekalan tertentu terhadap isi novel. Sesuatu yang mesti diterima oleh penonton.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Syawalan Kesepuluh
Senarai keinginan ditunjukkan di X agar warga yang membaca bisa menanggapi. Maklum, buku ini tergolong baru di rak buku Periplus mal Galaxi....
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Dulu tatkala membaca karya Louis Dupre, saya menekuri teks berupa anggitan huruf-huruf di atas kertas. Penulis "Religious Mystery and...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Sang imam, Ust...
No comments:
Post a Comment