Menagih Janji Politikus Islam
- Oleh Ahmad Sahidah
KETUA Dewan Syuro Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid, mendorong terciptanya koalisi partai politik (parpol) Islam tidak lama setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan izin untuk kampanye bagi peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.
Hal itu memantik rasa penasaran saya, apakah memang Islam politik itu benar-benar ada atau bayang-bayang dari sebuah kehendak ”tersembunyi” yang lain? Memang, ia selalu muncul dalam sejarah pergerakan Islam, namun kemudian apakah memang kita memerlukan koalisi, dan untuk apa?
Bagaimanapun peristiwa semacam itu dengan sendirinya menimbulkan persoalan relevansi agama dan politik. Kaitan keduanya telah mengharu-biru kehidupan umat Islam zaman modern, zaman saat hubungan antara keduanya kadang ditegaskan dan dinafikan.
Buku Ekspresi Politik Muslim oleh Dale F Eickelman dan James Piscatori adalah salah satu karya yang baik untuk memahami masalah tersebut secara teoretik dan praktik. Tentu, ada juga kelompok keagamaan lain yang apatis terhadap politik, seperti jamaah tabligh.
Fazlur Rahman, sarjana kajian Islam terkemuka, yakin bahwa injeksi politik ke dalam lingkungan agama telah bersifat merusak. Guru Besar Universitas Chicago itu menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam harus mengatur politik, tetapi apa yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi dan konsep Islam oleh kelompok dan elite politik.
Hasilnya adalah politik 'hasutan omong kosong', bukannya politik yang terpisahkan dipergunakan untuk menipu orang-orang kebanyakan agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, Islam justru harus melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai politik (1982: 140).
Parpol Islam
Di antara parpol Islam, hanya PKS yang relatif bergerak untuk melayani masyarakat tanpa menunggu pemilu, dan biasanya kegiatan sosial mereka bersumber pada pembiayaan swadaya anggotanya. PKB, PPP, dan PBB, menunggu pemilu untuk menawan hati masyarakat. Meskipun orang melihat penggiat partai dakwah itu mencuri start, tetapi justru saya melihatnya mereka mengandaikan sebuah perubahan masyarakat tidak hanya dari sisi politik, tetapi juga secara kultural.Para kader dan anggotanya tampak santun dan aktif menggalang kekuatan melalui kegiatan sosial dan keagamaan.
Tentu mereka berkaca kepada pengalaman partai Islam di negara lain yang berhasil menarik simpati masyarakat dengan memberikan pelayanan dalam bidang sosial dan kesehatan, yang tidak sepenuhnya bisa disediakan oleh pemerintah yang berkuasa.
Selama saya belajar di Malaysia, boleh dikatakan hanya para aktivis PKS yang peduli untuk memakmurkan pengajian, yang anehnya kebanyakan pegiatnya barasal dari fakultas umum, bukan agama. Mereka juga mendekati para pekerja Indonesia untuk memupuk kesadaran beragama melalui halaqah. Tidak itu saja, para kadernya juga menyediakan layanan kepada warga Indonesia bekaitan dengan konsultasi psikologi, kesehatan, dan lain-lain yang koordinatornya bisa dihubungi melalui telepon.
Teladan Politikus
Saya tidak mempunyai catatan politikus kiai dan ustad yang benar-benar menampilkan sosok pemimpin ideal muslim, yang hidup sederhana dan peduli, seperti Umar bin Khattab, khalifah ke-2, yang rela memanggul sekantong gandum untuk diberikan kepada si miskin.
Sejauh ini saya belum menemukan politikus dari partai ”Islam” di Indonesia yang membawakan diri seperti seorang politikus gaek dari Kelantan Malaysia, Nik Abdul Aziz Nik Mat, yang menjadi menteri besar (setingkat gubernur) dan masih berumah papan bukan tembok, meskipun berhak untuk tinggal di rumah dinas yang mahal dan mewah.
Namun demikian, saya tidak sepenuhnya sependapat dengan ide tokoh gaek tersebut tentang relasi agama dan politik; tetapi dalam kesehariannya beliau berperilaku sejalan dengan apa yang diyakini bahwa pemimpin itu harus menjadi teladan.
Oleh karena itu, saya menaruh takzim. Lalu, mungkinkah kiai dan ustad yang aktif di politik akan menjadi panutan ketika hidupnya ”mewah” serta menambah jarak dan jurang dengan masyarakat yang dibelanya?
Ada seorang kiai mantan anggota DPR yang membangun rumah berlantai dua dan mewah di sebuah kampung. Lalu, masihkan kita berharap teladan dari seorang kiai tersebut? Sementara itu masih banyak tetangganya yang hidup dalam keadaan daif?
Apakah tidak dengan sendirinya ”legitimasi” agama dalam politik itu hanya pemanis untuk meraih prestise dan kekuasaan? Tidakkah ia makin menegaskan apa yang dikhawatirkan oleh Fazlur Rahman tersebut?
Namun demikian, saya masih berkeyakinan bahwa agama adalah sumber nilai dalam politik, ketika kita menemukan satunya kata dan perbuatan dari pelakunya. Jika tidak, masyarakatlah yang bisa menilai siapakah sosok pemimpin yang akan dipilih untuk menjadi panutannya.
Hal itu telah dilakukan oleh masyarakat Kelantan Malaysia yang tetap setia memilih Nik Aziz Nik Mat, politikus sepuh, karena masih istiqamah menjaga kesederhanaan ketika Ketua Penasihat Partai Islam se-Malaysia (PAS) itu sadar bahwa masyarakat yang memberikan amanah sebagian besar masih hidup miskin. Adakah hal semacam itu juga dipegang teguh oleh penggiat politik Islam di Indonesia?(68)
— Ahmad Sahidah, kandidat doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia.
Hal itu memantik rasa penasaran saya, apakah memang Islam politik itu benar-benar ada atau bayang-bayang dari sebuah kehendak ”tersembunyi” yang lain? Memang, ia selalu muncul dalam sejarah pergerakan Islam, namun kemudian apakah memang kita memerlukan koalisi, dan untuk apa?
Bagaimanapun peristiwa semacam itu dengan sendirinya menimbulkan persoalan relevansi agama dan politik. Kaitan keduanya telah mengharu-biru kehidupan umat Islam zaman modern, zaman saat hubungan antara keduanya kadang ditegaskan dan dinafikan.
Buku Ekspresi Politik Muslim oleh Dale F Eickelman dan James Piscatori adalah salah satu karya yang baik untuk memahami masalah tersebut secara teoretik dan praktik. Tentu, ada juga kelompok keagamaan lain yang apatis terhadap politik, seperti jamaah tabligh.
Fazlur Rahman, sarjana kajian Islam terkemuka, yakin bahwa injeksi politik ke dalam lingkungan agama telah bersifat merusak. Guru Besar Universitas Chicago itu menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam harus mengatur politik, tetapi apa yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi dan konsep Islam oleh kelompok dan elite politik.
Hasilnya adalah politik 'hasutan omong kosong', bukannya politik yang terpisahkan dipergunakan untuk menipu orang-orang kebanyakan agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, Islam justru harus melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai politik (1982: 140).
Parpol Islam
Di antara parpol Islam, hanya PKS yang relatif bergerak untuk melayani masyarakat tanpa menunggu pemilu, dan biasanya kegiatan sosial mereka bersumber pada pembiayaan swadaya anggotanya. PKB, PPP, dan PBB, menunggu pemilu untuk menawan hati masyarakat. Meskipun orang melihat penggiat partai dakwah itu mencuri start, tetapi justru saya melihatnya mereka mengandaikan sebuah perubahan masyarakat tidak hanya dari sisi politik, tetapi juga secara kultural.Para kader dan anggotanya tampak santun dan aktif menggalang kekuatan melalui kegiatan sosial dan keagamaan.
Tentu mereka berkaca kepada pengalaman partai Islam di negara lain yang berhasil menarik simpati masyarakat dengan memberikan pelayanan dalam bidang sosial dan kesehatan, yang tidak sepenuhnya bisa disediakan oleh pemerintah yang berkuasa.
Selama saya belajar di Malaysia, boleh dikatakan hanya para aktivis PKS yang peduli untuk memakmurkan pengajian, yang anehnya kebanyakan pegiatnya barasal dari fakultas umum, bukan agama. Mereka juga mendekati para pekerja Indonesia untuk memupuk kesadaran beragama melalui halaqah. Tidak itu saja, para kadernya juga menyediakan layanan kepada warga Indonesia bekaitan dengan konsultasi psikologi, kesehatan, dan lain-lain yang koordinatornya bisa dihubungi melalui telepon.
Teladan Politikus
Saya tidak mempunyai catatan politikus kiai dan ustad yang benar-benar menampilkan sosok pemimpin ideal muslim, yang hidup sederhana dan peduli, seperti Umar bin Khattab, khalifah ke-2, yang rela memanggul sekantong gandum untuk diberikan kepada si miskin.
Sejauh ini saya belum menemukan politikus dari partai ”Islam” di Indonesia yang membawakan diri seperti seorang politikus gaek dari Kelantan Malaysia, Nik Abdul Aziz Nik Mat, yang menjadi menteri besar (setingkat gubernur) dan masih berumah papan bukan tembok, meskipun berhak untuk tinggal di rumah dinas yang mahal dan mewah.
Namun demikian, saya tidak sepenuhnya sependapat dengan ide tokoh gaek tersebut tentang relasi agama dan politik; tetapi dalam kesehariannya beliau berperilaku sejalan dengan apa yang diyakini bahwa pemimpin itu harus menjadi teladan.
Oleh karena itu, saya menaruh takzim. Lalu, mungkinkah kiai dan ustad yang aktif di politik akan menjadi panutan ketika hidupnya ”mewah” serta menambah jarak dan jurang dengan masyarakat yang dibelanya?
Ada seorang kiai mantan anggota DPR yang membangun rumah berlantai dua dan mewah di sebuah kampung. Lalu, masihkan kita berharap teladan dari seorang kiai tersebut? Sementara itu masih banyak tetangganya yang hidup dalam keadaan daif?
Apakah tidak dengan sendirinya ”legitimasi” agama dalam politik itu hanya pemanis untuk meraih prestise dan kekuasaan? Tidakkah ia makin menegaskan apa yang dikhawatirkan oleh Fazlur Rahman tersebut?
Namun demikian, saya masih berkeyakinan bahwa agama adalah sumber nilai dalam politik, ketika kita menemukan satunya kata dan perbuatan dari pelakunya. Jika tidak, masyarakatlah yang bisa menilai siapakah sosok pemimpin yang akan dipilih untuk menjadi panutannya.
Hal itu telah dilakukan oleh masyarakat Kelantan Malaysia yang tetap setia memilih Nik Aziz Nik Mat, politikus sepuh, karena masih istiqamah menjaga kesederhanaan ketika Ketua Penasihat Partai Islam se-Malaysia (PAS) itu sadar bahwa masyarakat yang memberikan amanah sebagian besar masih hidup miskin. Adakah hal semacam itu juga dipegang teguh oleh penggiat politik Islam di Indonesia?(68)
— Ahmad Sahidah, kandidat doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia.
No comments:
Post a Comment