Dua hari yang lalu, pintu rumah saya diketok. Isteri pun menyambangi. Oh, ternyata tetangga depan, sebuah keluarga Melayu, mengantarkan kue. Kami gembira, karena bukan hanya dapat panganan, tetapi juga perhatian. Meskipun kami tidak begitu dekat, tetapi mereka baik pada kami. Mungkin karena usia yang berbeda jauh, kami belum menemukan tune untuk memulai sebuah pembicaraan.
Malah, kemarin tetangga lantai bawah, mengantarkan puding ketika kami berbuka. Ya, keluarga Indonesia ini juga menyuguhkan wajah indah dalam menyemai silaturahmi. Ada damai menyeruak. Puding itu tidak habis sekali makan, malah saya menyimpannya di lemari es. Baru semalam, saya menghabiskan seakan-akan saya sedang menghitung kebaikan orang lain agar tidak cepat lenyap di ingatan.
Hidup di sebuah flat yang begitu sangat dekat karena tidak ada penyekat memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan salah paham. Meskipun hanya beberapa langkah, kami tidak bisa seenaknya memasuki area pribadi mereka. Pertemuan tidak di sengaja di depan pintu dan seulas senyum dan sapa lebih dari cukup untuk mewujudkan hubungan harmonis. Suara kami dan alat elektronik tidak dipasang keras agar tidak mengganggu ketenangan mereka. Lagi pula, kami tidak perlu volume yang memekakkan telinga untuk menikmati hiburan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment