Mungkin kata di atas kurang tepat, karena kami merayakan idul fitri di negara yang mempunyai kebudayaan yang sama dalam merayakan lebaran. Tradisi ketupat, oncor dan makanan hidangan tidak jauh berbeda. Tentu, ini bukan hal baru, karena sejak dahulu kita berbagi kebudayaan yang sama. Namun, keduanya memilih jalan lain karena sejarah menghendaki demikian.
Pagi, di hari suci itu, saya bangun subuh dengan perasaan cemas karena hujan tidak berhenti. Sejak semalam, hujan terus tercurah dari langit. Meskipun demikian, saya agak lega karena perjalanan ke tempat shalat tidak akan basah sebab keluarga Pak Sugeng berbaik hati untuk berbagi tumpangan. Tengah gerimis, kami pun membelah pagi menuju Konsulat. Jalan masih sepi.
Di lokasi tempat shalat, kami menemukan segelintir orang. Setelah bersalaman, saya pun mengambil tempat. Tak lama kemudian, Imam shalat, Pak Mohammad Nuh, memimpin membaca takbir. Lambat laun, jamaah berdatangan. Pak Karnadi, staf Konsulat, membacakan rangkain acara shalat Id, yang diawali oleh sambutan oleh Bapak Munir Ari Sunanda, Konsul Jenderal. Kemudian, kami pun menunaikan shalat berjamaah. Tengku Faisal, mahasiswa USM, menyampaikan ceramah Idul Fitri.
Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam, khotbah idul fitri selesai. Lalu, kami pun saling bersalaman dan bermaaf-maafan. Disusul kemudian dengan makan ketupat bersama di bawah tenda besar di halaman konsulat. Menu kampung halaman menyempurnakan lebaran. Di sela-sela menghabiskan ketupat, kue dan minuman, saya berjumpa dengan beberapa keluarga mahasiswa. Malah, saya sempat ngobrol dengan Pak Nasrullah, mahasiswa PhD dari Aceh, tentang situasi tanah air.
Dalam perjalan pulang, saya menikmati jalan yang masih lengang. Tiba-tiba, telepon berdering. Pak Stenly dan keluarga, kawan baik saya, mau berkunjung ke rumah. Ada kebahagiaan menyeruak. Ya, mereka adalah tetangga kami di flat yang sangat dekat dan sering berbagi cerita. Anak semata wayangnya, Amel, melengkapi tautan silaturahim di sore itu. Keceriaan berhamburan di tengah canda dan tawa. Adakah kenikmatan yang melebihi suasana seperti ini?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment