Koran Jawa Pos, 13 Desember 2008
Oleh Ahmad Sahidah*
Pertemuan rutin General Border Committee (GBC) Indonesia-Malaysia yang memasuki usia ke-37 mungkin bisa dijadikan titik tolak untuk membincangkan masalah perbatasan Indonesia-Malaysia secara lebih baik. Tentu isu kepemilikan Ambalat akan selalu menjadi batu ganjalan karena merupakan area konflik, mengingat kawasan itu mengandung sumber minyak bumi yang luar biasa. Meski demikian, masalah tersebut telah diserahkan kepada tim teknis kedua negara melalui kementerian luar negeri masing-masing.
Masalah aturan keterlibatan (rules of engagement) militer dalam menjaga perbatasan bahwa jika kedua militer dihadapkan dengan masalah, tidak terjadi bentrokan (clash) merupakan kesepakatan yang cemerlang. Dino Pati Djalal menyebut itu sebagai bentuk kemajuan luar biasa (Jawa Pos, 12/12/08). Ikhtiar untuk mengetatkan perbatasan dalam usaha menghindari tindak kejahatan, seperti penyelundupan dan perdagangan manusia (trafficking), adalah upaya yang perlu mendapatkan perhatian karena praktik semacam itu masih leluasa. Inilah praktik yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merupakan kejahatan kemanusiaan yang mesti dicegah.
Peran Media
Pada hari yang sama (12/12/08), Utusan dan Jawa Pos memuat foto pertemuan Badawi dan SBY dan berita yang sama-sama memberikan harapan untuk mewujudkan hubungan kedua negara bertambah erat dan mampu menyelesaikan masalah yang acapkali mendera. Mungkin senyum dua orang nomor satu itu secara lahir bisa dijadikan pertanda ke arah kemajuan hubungan persahabatan. Di sini, betapa peran media sangat diperhitungkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan media, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia memang tidak seterang negara tetangganya dalam memberitakan sikapnya terhadap beberapa masalah, seperti perbatasan, hak cipta, dan tenaga kerja. Ketika media di Indonesia meributkan reog Panorogo yang dijadikan ikon pariwisata Malaysia, secara relatif warga Malaysia tidak mengetahuinya. Sementara itu, televisi di sini (Indonesia) mencuatkan isu tersebut sehingga menimbulkan respons kemarahan yang meluas di kalangan khalayak. Tentu, pemberitaan semacam itu makin menimbun rasa jengkel masyarakat di sini terhadap negara tetangga.
Demikian pula ketika kasus Ceriyati, pembantu yang bergantungan di bangunan kondominium karena melarikan dari kekejaman majikannya, mencuat ke permukaan, media Malaysia justru menampilkan sikap keprihatinan pejabat terkait di sana dengan mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Di sini, media memublikasikan para pegiat LSM yang menyoroti ketidakbecusan negara tetangga melindungi warga negara Indonesia. Oleh karena itu, harus ada jalan lain untuk mengurai benang kusut semacam ini agar kedua belah pihak menemukan cara ungkap yang memberikan jalan keluar, bukan malah membuat kemarahan berkobar.
Hubungan Masyarakat
Kalau kita perhatikan di beberapa media, ada banyak ketidakpercayaan antara masyarakat dua negara. Jika ditelisik, banyak komentar di media Malaysia, seperti KOSMO! dan Metro, yang memuat rasa kesal warga setempat karena Kuala Lumpur seperti Jakarta saja. Malah tidak itu saja, pedagang kecil sering menyatakan kejengkelannya karena ternyata banyak warga negara Indonesia yang menjadi pedagang kaki lima. Belum lagi, perilaku para TKI yang berkelakuan seenaknya. Misalnya, bergerombol dengan pakaian ala rocker dan berambut panjang, ternyata, dipandang tidak elok oleh orang lokal, meskipun di Jakarta itu mungkin hal biasa.
Demikian pula, kita akan banyak menemukan komentar miring pembaca media di sini terhadap Malaysia dengan menyebutnya sebagai bangsa yang suka mengakui hasil kebudayaan Indonesia sebagai miliknya, seperti batik. Padahal, sebagaimana ditulis oleh Borhan Abu Samah (Utusan, 10/12/08), motif keduanya berbeda. Mungkin,Anda bisa membandingkan batik yang dipakai Abdullah Badawi dan SBY pada pertemuan di atas sehingga dengan sendirinya bisa dibedakan corak batik antara keduanya. Tentu, saya serta-merta bisa merasakannya karena saya sering mengamatinya dari dekat. Meski demikian, harus diakui pakaian resmi Malaysia itu diilhami oleh batik Indonesia.
Untuk itu, upaya menghilangkan duri yang menghalangi hubungan dua negara tidak hanya melibatkan pemimpin elite formal, tetapi juga masyarakat luas. Peran Eminent Persons Groups (EPG), kelompok di luar hubungan antara pemerintah, yang dipimpin Try Soetrisno (bekas wakil presiden) dan Musa Hitam (bekas wakil perdana menteri) tentu merupakan jalan keluar dari hubungan formal yang kadang terkendala birokrasi. Maka, kelompok yang digawangi oleh banyak pakar dan tokoh masyarakat itu diharapkan lebih menunjukkan taring dalam merapatkan hubungan masyarakat dua negara tersebut.
Untungnya, perguruan tinggi masing-masing negara juga telah memberikan sumbangan penting bagi upaya menghilangkan prasangka yang selalu menghantui hubungan dua kakak-beradik itu. Malah, Universitas Sains Malaysia, tempat saya belajar, akan menggelar kuliah umum bertajuk Hubungan Bangsa Dua Serumpun: Realiti Masa Kini dan Cabaran (baca: Tantangan) Masa Depan yang akan disampaikan oleh alumnusnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra, pada 18 Desember 2008.
Mungkin, kabar putusan pengadilan Malaysia (27/11/08) terhadap Yim Pek Ha, majikan Nirmala Bonat, dengan hukuman 18 tahun karena melakukan tindakan kekerasan bisa menjadi penanda yang baik. Bagaimanapun, warga Indonesia telah mendapatkan keadilan dan itu akan menambah keyakinan kita bahwa warga Indonesia yang lain akan menerima perlakuan sama. Peristiwa tersebut sejatinya membuat warga dua negara makin bersemangat untuk memupuk rasa saling memercayai dalam mewujudkan hubungan yang tulus dan tidak lagi terperangkap sikap saling menafikan. Semoga. (*)
*Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Departemen Peradaban Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
Oleh Ahmad Sahidah*
Pertemuan rutin General Border Committee (GBC) Indonesia-Malaysia yang memasuki usia ke-37 mungkin bisa dijadikan titik tolak untuk membincangkan masalah perbatasan Indonesia-Malaysia secara lebih baik. Tentu isu kepemilikan Ambalat akan selalu menjadi batu ganjalan karena merupakan area konflik, mengingat kawasan itu mengandung sumber minyak bumi yang luar biasa. Meski demikian, masalah tersebut telah diserahkan kepada tim teknis kedua negara melalui kementerian luar negeri masing-masing.
Masalah aturan keterlibatan (rules of engagement) militer dalam menjaga perbatasan bahwa jika kedua militer dihadapkan dengan masalah, tidak terjadi bentrokan (clash) merupakan kesepakatan yang cemerlang. Dino Pati Djalal menyebut itu sebagai bentuk kemajuan luar biasa (Jawa Pos, 12/12/08). Ikhtiar untuk mengetatkan perbatasan dalam usaha menghindari tindak kejahatan, seperti penyelundupan dan perdagangan manusia (trafficking), adalah upaya yang perlu mendapatkan perhatian karena praktik semacam itu masih leluasa. Inilah praktik yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merupakan kejahatan kemanusiaan yang mesti dicegah.
Peran Media
Pada hari yang sama (12/12/08), Utusan dan Jawa Pos memuat foto pertemuan Badawi dan SBY dan berita yang sama-sama memberikan harapan untuk mewujudkan hubungan kedua negara bertambah erat dan mampu menyelesaikan masalah yang acapkali mendera. Mungkin senyum dua orang nomor satu itu secara lahir bisa dijadikan pertanda ke arah kemajuan hubungan persahabatan. Di sini, betapa peran media sangat diperhitungkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan media, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia memang tidak seterang negara tetangganya dalam memberitakan sikapnya terhadap beberapa masalah, seperti perbatasan, hak cipta, dan tenaga kerja. Ketika media di Indonesia meributkan reog Panorogo yang dijadikan ikon pariwisata Malaysia, secara relatif warga Malaysia tidak mengetahuinya. Sementara itu, televisi di sini (Indonesia) mencuatkan isu tersebut sehingga menimbulkan respons kemarahan yang meluas di kalangan khalayak. Tentu, pemberitaan semacam itu makin menimbun rasa jengkel masyarakat di sini terhadap negara tetangga.
Demikian pula ketika kasus Ceriyati, pembantu yang bergantungan di bangunan kondominium karena melarikan dari kekejaman majikannya, mencuat ke permukaan, media Malaysia justru menampilkan sikap keprihatinan pejabat terkait di sana dengan mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Di sini, media memublikasikan para pegiat LSM yang menyoroti ketidakbecusan negara tetangga melindungi warga negara Indonesia. Oleh karena itu, harus ada jalan lain untuk mengurai benang kusut semacam ini agar kedua belah pihak menemukan cara ungkap yang memberikan jalan keluar, bukan malah membuat kemarahan berkobar.
Hubungan Masyarakat
Kalau kita perhatikan di beberapa media, ada banyak ketidakpercayaan antara masyarakat dua negara. Jika ditelisik, banyak komentar di media Malaysia, seperti KOSMO! dan Metro, yang memuat rasa kesal warga setempat karena Kuala Lumpur seperti Jakarta saja. Malah tidak itu saja, pedagang kecil sering menyatakan kejengkelannya karena ternyata banyak warga negara Indonesia yang menjadi pedagang kaki lima. Belum lagi, perilaku para TKI yang berkelakuan seenaknya. Misalnya, bergerombol dengan pakaian ala rocker dan berambut panjang, ternyata, dipandang tidak elok oleh orang lokal, meskipun di Jakarta itu mungkin hal biasa.
Demikian pula, kita akan banyak menemukan komentar miring pembaca media di sini terhadap Malaysia dengan menyebutnya sebagai bangsa yang suka mengakui hasil kebudayaan Indonesia sebagai miliknya, seperti batik. Padahal, sebagaimana ditulis oleh Borhan Abu Samah (Utusan, 10/12/08), motif keduanya berbeda. Mungkin,Anda bisa membandingkan batik yang dipakai Abdullah Badawi dan SBY pada pertemuan di atas sehingga dengan sendirinya bisa dibedakan corak batik antara keduanya. Tentu, saya serta-merta bisa merasakannya karena saya sering mengamatinya dari dekat. Meski demikian, harus diakui pakaian resmi Malaysia itu diilhami oleh batik Indonesia.
Untuk itu, upaya menghilangkan duri yang menghalangi hubungan dua negara tidak hanya melibatkan pemimpin elite formal, tetapi juga masyarakat luas. Peran Eminent Persons Groups (EPG), kelompok di luar hubungan antara pemerintah, yang dipimpin Try Soetrisno (bekas wakil presiden) dan Musa Hitam (bekas wakil perdana menteri) tentu merupakan jalan keluar dari hubungan formal yang kadang terkendala birokrasi. Maka, kelompok yang digawangi oleh banyak pakar dan tokoh masyarakat itu diharapkan lebih menunjukkan taring dalam merapatkan hubungan masyarakat dua negara tersebut.
Untungnya, perguruan tinggi masing-masing negara juga telah memberikan sumbangan penting bagi upaya menghilangkan prasangka yang selalu menghantui hubungan dua kakak-beradik itu. Malah, Universitas Sains Malaysia, tempat saya belajar, akan menggelar kuliah umum bertajuk Hubungan Bangsa Dua Serumpun: Realiti Masa Kini dan Cabaran (baca: Tantangan) Masa Depan yang akan disampaikan oleh alumnusnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra, pada 18 Desember 2008.
Mungkin, kabar putusan pengadilan Malaysia (27/11/08) terhadap Yim Pek Ha, majikan Nirmala Bonat, dengan hukuman 18 tahun karena melakukan tindakan kekerasan bisa menjadi penanda yang baik. Bagaimanapun, warga Indonesia telah mendapatkan keadilan dan itu akan menambah keyakinan kita bahwa warga Indonesia yang lain akan menerima perlakuan sama. Peristiwa tersebut sejatinya membuat warga dua negara makin bersemangat untuk memupuk rasa saling memercayai dalam mewujudkan hubungan yang tulus dan tidak lagi terperangkap sikap saling menafikan. Semoga. (*)
*Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Departemen Peradaban Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
No comments:
Post a Comment