Tuesday, January 06, 2009

Makna di tengah Jalan

Tadi pagi, kami memacu motor ke lapangan kampus. Sejak semalam, niat untuk berlari di trek lapangan sepak bola tertanam di hati. Tanpa itikad yang bulat, kami tidak mungkin merasakan embun basah di rumput. Ya, belakangan ini, saya memilih menanggalkan sepatu untuk jogging. Mungkin karena berangkat agak 'siang', saya merasakan panas matahari pagi membelai kulit. Ya, di putaran ketiga, matahari yang menyembul dari balik gedung-gedung itu menerpa ari dengan lembut. Ada buncah senang karena sinaran itu tidak menyengat.

***

Dalam perjalanan ke kampus, saya bersirobok dengan seorang mahasiswa Arab yang sedang berjalan menyusuri trotoar sambil memegang tasbih. Dengan map dan pakaian hem dan celana rapi jali, dia memutar butiran berbentuk bulat. Ini mengingatkan saya pada pengalaman sebelumnya melihat seorang mahasiswa Yaman dengan pakaian tradisional plus badik di sabuk, juga memegang tasbih, berzikir. Hebatnya, pemandangan yang terakhir ini, saya temukan di sebuah pasaraya. Keramaian tidak menghalangi dia mengingat Tuhan. Lagi-lagi, saya memutar ingatan lain, ketika Prof Salleh Yaapar, direktur penerbit USM, menegaskan pentingnya zikir dan pikir dalam kehidupan dalam sebuah acara Sast(e)ra Remaja di Kampus. Pertanyaanya kemudian, mungkinkah keduanya berjalan beriringan? Saya sedang ingin menulis jawabannya dalam sebuah tulisan.

'Lamunan' sepanjang jalan terhenti, karena sirine motor polisi yang sedang mengawal petinggi dengan mobil mercy, tidak pasti apa nomor serinya. Suara yang meraung-raung membuat kendaraan di depannya meminggir dan rombongan ini terus melaju menerjang lampu merah, tanda berhenti. Tentu, mereka tidak perlu dihalang, sebab di hadapannya setumpuk pekerjaan.

***

Sesampai di kampus, saya menemukan lampu lorong kampus masih menyala. Serta-merta saya mematikan agar terang itu tidak sia-sia. Ya, saya selalu memerhatikan keberadaan lampu ini jika siang telah menggantikan malam. Ia adalah sebuah ikhtiar kecil dari sebuah gagasan untuk menghemat energi. Sayangnya, jam telah menunggu pukul 9, yang berarti lampu itu disia-siakan selama dua jam, jika dihitung terang telah datang pada pukul 7. Demikian pula, air di toilet mengucur karena pengguna mungkin terburu-buru, sehingga lupa menekan tombol agar air berhenti mengalir. Lalu, saya menariknya karena tombol itu memang macet. Sebuah cerita sederhana yang mungkin membelajarkan saya bagaimana menghargai kehidupan.

***

Hal lain yang sering saya lakukan adalah berjalan menikmati lorong kampus. Selain menghemat bensin motor, saya juga menemukan banyak pengalaman dan tentu bersua teman. Malah, tadi saya menikmati kopi nescafe dingin gratis di bawah pohon dalam perjalanan menuju perpustakaan dua. Produk ini memang rajin mempromosikan minuman yang dihasilan Nestle ini di pelataran kampus. Tiba-tiba tebersit, bukankah Tun Mahathir, hari ini di surat kabar Utusan dan the Sun, mengusulkan pemboikotan produk Amerika dan sejenisnya yang mendukung Israel? Apakah saya mengkhianati bangsa Palestinya karena telah meneguk minuman dingin di siang panas itu? Saya sedang menimbang-nimbang.

***

Setelah lelah memfoto kopi bahan penulisan an biografi rektor, saya berjalan dengan mengambil rute yang berbeda. Lagi-lagi, saya bertemu seorang kawan, yang darinya saya belajar banyak hal ihwal kampus, politik dan bahkan rahasia yang tidak terungkap dalam pertemuan dan koran. Perjalanan ini berakhir di perpustakaan satu, tempat saya mengambil buku berkaitan dengan kesusasteraan, Musafir Menuju Destinasi (Hasan Ali), Perjalankan Sejauh Ini: Sebuah Autobiografi (Shahnon Ahmad) dan Biografi Umar Kayam (Ahmad Nashih Luthfi). Tentu, keterlibatan saya pada dunia sastra mempunyai kisah panjang. Selain itu, luahan Prof Mohammad Haji Salleh, sast(e)rawan negara, tentang peran sastra dalam menjadikan penikmatnya mampu merasakan keadaan 'liyan' memantik kuat untuk bergelut dengan kesusastraan. Dari sini, kemudian kita berempati terhadap keberadaan orang lain, sehingga tidak mudah meletakkan dalam kerangkeng penghakiman. Lagi pula, bukankah diri (self) ini menjadi liyan (other) dari sudut pandang yang terakhir?

Lalu, saya tidak tahu, apakah dalam perjalanan pulang ke rumah setelah menulis coretan ini, saya akan menemukan banyak kejadian yang terulang atau mungkin sama sekali baru. Saya betul-betul tidak tahu. Apakah Anda bisa meramalkannya?

No comments:

Puasa [7]

Saya berfoto dengan Hikam, mahasiswa Elektro, yang menjaga portal pondok. Di sebelahnya, ada temannya, Febi, yang juga bertugas. Nama terakh...