Semalam, saya berkesempatan lagi berbincang dengan Pak Cik, tetangga rumah. Meskipun tidak ada tema khusus, kami mengasyiki pelbagai cerita dan tidak jarang sebuah gagasan, seperti dunia tasawuf, prilaku manusia secara umum, dan remeh temeh yang lain. Semuanya mengalir bersama waktu. Dengan susunan kalimat yang tertata, orang tua yang banyak memberi pengalamannya pada saya menyodorkan pertanyaan dan juga memberikan jawaban dari apa yang saya inginkan.
Lalu, tiba-tiba perbincangan menyusup pada suasana flat tempat kami tinggal. Mengapa penghuninya tidak begitu antusias mengunjungi surau yang selalu memperdengarkan azan? Jawaban yang sempat terlontar karena mereka sibuk. Namun, kritik Pak Cik yang lain bahwa kehadiran jamaah di musolla itu berjalan seperti dulu, datang-pergi, tidak ada jeda bagi jamaah untuk berbagi. Setelah ditelusuri, kemungkinan perbedaan latar belakang yang menghalangi para jamaah duduk sejenak di musolla untuk bertukar sapa. Padahal, kesempatan seperti ini justeru merupakan peluang bagi mereka keluar dari rutinitas kerja dan menemui manusia, bukan mesin saja. Atau, televisi telah merampas waktu mereka di sela-sela?
Tentu, kehadiran jamaahTabligh kadang mendorong sebuah komunikasi, meskipun bersifat satu arah. Namun, ia telah menghidupkan surau kami yang kian lama tidak mampu membuat penghuni di sekitarnya untuk turut meramaikan agar ia tidak menggigil kedinginan. Kehangatan rumah ibadah itu lahir bersama banyaknya orang yang bermastautin di atasnya saling menyapa menjelang shalat berjamaah. Namun keinginan ini tidak kunjung menjadi kenyataan. Padahal, dalam setiap kesempatan saya bersua dengan pengguna lift, banyak keluarga Muslim yang tinggal di rumah susun ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Baca
Saya meletakkan pesan Pak Musa Asy'arie di loteng, tempat kami menyimpan buku. Berjuang dari Pinggir adalah salah satu karya beliau yan...
- 
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
 - 
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...
 - 
Ahmad Sahidah lahir di Sumenep pada 5 April 1973. Ia tumbuh besar di kampung yang masih belum ada aliran listrik dan suka bermain di bawah t...
 
No comments:
Post a Comment