Saturday, January 03, 2009

Mengenal Batas Kita dan Mereka

Buku Roxanne Euben ini mengutip pribahasa Maroko, الي ما جال ما يعرف بحق الرجال, bahwa seseorang yang tidak melakukan perjalanan tidak akan mengenal keutamaan manusia dan kemudian جل ترى المعانى, sebuah ajakan untuk melakukan perjalanan agar kita melihat makna-makna (segala sesuatu) sebagai pembuka dari karyanya berjudul Journeys to the Other Shore: Muslim and Western Travelers in Search and Knowledge. Seperti diungkapkan di dalam pengantarnya bahwa pencarian pengetahuan di negeri Islam dan Barat mengandaikan kesamaan dan juga perbedaan. Penulis sendiri ingin mengurai yang terakhir agar pembaca tertarik untuk menekuri buah karyanya. Meskipun penggunaan Islam dan Barat dipertahankan, namun sejak awal lagi, dia mengingatkan bahwa identitas yang membedakannya tidak bisa ditegaskan secara mutlak, sebab ada ruang tumpang tindih yang mengaburkan keaslian.

Dengan rujukan yang kaya, Barat dan Timur, penulis menegaskan sejak permulaan bahwa karya tersebut sebenarnya ikhtiar banyak orang dengan pelbagai keahlian, seperti Hadits dan al-Qur'an, meskipun tanggung jawab terhadap kandungannya berada di tangan penulis. Lebih jauh, dia menandaskan bahwa buku yang layak dibaca ini menyiratkan sebuah pendekatan pelbagai disiplin dan dialog yang dilakukan tidak hanya melalui pertemuan, tetapi juga telepon dan email. Dua yang terakhir ini mungkin layak untuk dipraktikkan untuk mempercepat penelusuran, meskipun mungkin akan menghilangkan konteks yang mengelilingi sebuah pernyataan.

Bab pertama dibuka dengan kata yang puitik, yaitu "Batas-Batas: Tembok dan Jendela, Beberapa Refleksi tentang Cerita Perjalanan. " Di dalam uraian awal ini, kita menemukan bahwa ternyata Barat itu bukan sebuah peradaban dengan akar tunggal dan jelas-jelas melukiskan batas-batas historis dan kontemporer. Sebagai sebuah penanda geografi, ia sebetulnya tidak mungkin untuk menunjukkan secara tepat dari mana Barat dimulai dan berakhir, dan secara khusus pada masa sekarang di mana ramai orang, informasi dan barang-barang keperluan melintasi batas-batas kultural dan kebangsaan sesuka hati, yang menciptakan semua jenis identitas transnasional dan subnasional yang sering bertukar dan membentuk dirinya dengan cara yang tidak bisa diramalkan.

Saya rasa kutipan ini akan menempalak siapa saja yang selalu menggampangkan masalah dengan menciptakan kalimat provokatif tentang hubungan kita dengan Barat. Belum lagi, batas kita itu juga mengalami hal yang sama, sehingga kehati-hatian perlu dikedepankan, agar kita tidak selalu mengulang kesalahan, mengecap orang dengan kata-kata yang kadang kita tidak paham sepenuhnya. Lalu, apakah kita tidak mempunyai identitas? Tentu, kita telah menanggungnya sejak kecil, meskipun ia terekonstruksi secara sosial yang kemudian dipahami sebagai tetap, pasti dan tidak berubah. Di sinilah, kita dan mereka saling bersaing untuk saling menundukkan dan menganggap liyan sebagai musuh. Padahal kadang musuh itu ada di cermin ketika kita mematut diri. Lalu, siapakah musuh itu? Lagi-lagi ini memerlukan ruang lain, namun demikian kita bisa merujuk pada buku Karl Popper yang menjelaskan secara mendalam siapa musuh-musuh itu di dalam masyarakat terbuka.

No comments:

Puasa [17]

  Berhenti sejenak untuk membaca koran Jawa Pos , saya tetiba merasa lungkrah. Satpam kampus memutar lagu jiwang, pas Iklim dengan Hanya Sua...