Untuk kesekian kalinya, saya mengunjungi tempat ibadah ini, Masjid Terapung Tanjung Bunga. Dulu, saya berkunjung untuk shalat magrib bersama kawan karib, Dr Sufyan dan Dr Fauzi, setelah menyusuri jalan Batu Ferringhi yang terkenal itu. Sama dengan masjid lain, namun keunikannya ia dibangun di bibir pantai, seakan-akan sedang terapung. Kehadirannya untuk melengkapi perumbahan susun di sebelahnya yang diperuntukan untuk korban Tsunami tahun 2004. Seperti tertera di papan peresmian, ia diresmikan oleh Perdana Menteri ke-4, Abdullah Badawi pada tanggal 16 Mei 2007.
Dengan jendela dan pintu di sana-sini, angin laut berhembus. Setelah shalat, saya sempat berdiri di pagar melihat anak-anak bermain bola volley (di sana disebut tampar) di depan rumah susun. Mereka tampak riang. Malah ketika bolanya terbang jauh, jatuh ke laut, serta merta salah seorang dari mereka berlari untuk mengambilnya, tanpa memerhatikan onggokan batu yang dijadikan pagar penahan ombak. Namanya juga anak kecil. Tampak perahu ditambat oleh nelayan, tenang, karena ombak tak menghempas.
Di beberapa sudut masjid, tampak semacam gazebo, yang dilengkapi dengan kursi beton. Mungkin, inilah tempat yang mengasyikkan untuk menjaring ilham atau iseng menghabiskan waktu sore, sambil menunggu matahari yang akan tenggelam dan menyemburatkan warna jingga. Tak lama, saya pun beranjak untuk pulang, seraya membawa sepotong riang. Lagi-lagi, sepanjang jalan keriangan itu tak ilang-ilang, karena lagu-lagu lembut itu membelai ubun-ubun.
1 comment:
Kapan kita bisa shalat di masjid itu, ya?
Salam silaturahim dari pekalongan, pak.
Post a Comment