Saturday, September 05, 2009

Menjernihkan Konflik Serumpun


Oleh: Ahmad Sahidah

Sumber: Jawa Pos, 27 Agustus 2009

DUA tulisan tentang isu pencaplokan tari pendet oleh Dewa Gde Satrya berjudul Klaim Tari Pendet oleh Malaysia (Jawa Pos, 24/8/09) dan Siti R. Susanto berjudul Konflik Klaim Kebudayaan (25/8/09) mengandaikan isu lama tentang keranjingan negara tetangga kita itu mencuri hasil kebudayaan Indonesia. Tentu, kasus tersebut menyeret tuduhan sebelumnya seperti batik, lagu Rasa Sayange, dan reog Ponorogo serta menambah keyakinan khalayak di sini untuk menista saudara serumpunnya sebagai maling.

Benarkah gambaran tersebut? Benarkah negara bekas jajahan Inggris itu mencuri karya Indonesia untuk diakui sebagai miliknya? Di antara sederet karya, yang sering dikemukakan diklaim adalah batik. Padahal, menurut Wan Hasmah, mahasiswi PhD di Universitas Teknologi Mara (UiTM), Malaysia mengakui batik itu berasal dari Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam sejarah usul yang dipatrikan di Museum Batik Negara Malaysia.

Lebih jauh, Majapahit sebelumnya memberikan hadiah batik kepada Kerajaan Melaka. Bagaimanapun, jika ditilik dengan cermat, corak batik Malaysia berbeda dari Indonesia, baik motif maupun bahan. Masalahnya, karena banyak warga dan keturunan Indonesia di sana, batik-batik tersebut mendapatkan permintaan yang besar dan menyerbu masuk tanpa bisa dicegah, sehingga melalui celah itulah ''peniruan'' mungkin terjadi.

Persoalannya, apakah salah keturunan Jawa di Malaysia memanfaatkan karya nenek moyangnya untuk digunakan sebagai identitas, sedangkan pada waktu yang sama mereka telah mengalami naturalisasi sebagai warga Malaysia?

Mengapa kita tidak pernah mendengar gugatan orang Jawa terhadap budaya gamelan yang dimainkan orang Suriname keturunan Jawa? Salahkah orang Malaysia keturunan Bugis mengakui epik Galigo sebagai miliknya, mengingat perdana menteri yang sekarang, Najib Tun Razak, adalah keturunan Bugis yang telah menjadi warga negara di negeri serumpun tersebut?

Jawaban pertanyaan itu tentu tidak hanya berupa ya dan tidak. Sebab, batas-batas tersebut menjadi cair setelah pengalaman hubungan kedua negara ini sering naik-turun.

Kerja Sama dan Konflik

Kalau dirunut ke belakang, sejak Kerajaan Majapahit dan Melaka, perselisihan telah meruyak. Namun, pada masa yang sama, bagian dari dua negara ini juga pernah bahu-membahu bekerja sama melawan liyan. Misalnya, Aceh membantu Kedah, negeri utara Malaysia, melawan Siam (sekarang Thailand).

Bukan hanya itu, hubungan mesra tersebut telah memungkinkan orang Aceh diberi tanah untuk dihidupkan, seperti di Pulau Pinang, jauh sebelum Francis Light, asal Inggris, pada 1786 menyulap pulau mutiara itu menjadi kota modern. Dari hubungan tersebut, banyak keturunan Aceh yang berkewarganegaraan Malaysia berhasil dalam segala bidang. Misalnya, bisnis, politik, dan akademis.

Malahan, pada zaman prakemerdekaan, 1920-an, Tan Malaka menyusuri tanah Semenanjung untuk bersama-sama pegiat kemerdekaan lokal melawan penjajah. Rustam A. Sani, sosiolog terkemuka keturunan Minangkabau, dalam buku Social Roots of the Malay Left (2008) menulis dengan terang benderang bagaimana kaum kiri Indonesia, Djamaluddin Tamin, Tan Malaka, Budiman, Sutan Djenain, Alimin, dan Mohammad Arif, menggelorakan pergerakan orang Melayu setelah revolusi Jawa dan Sumatera dipadamkan Belanda. Dari pertautan itu, lahirlah Kesatuan Melayu Muda yang dikenal sebagai pemprakarsa perlawanan terhadap kolonialisme melalui gerakan bersenjata.

Selanjutnya, tidak aneh jika konflik muncul antara dua negara ini, masyarakat terbelah. Contoh yang paling jelas adalah penolakan almarhum Hamka, novelis dan ulama, terhadap gagasan konfrontasi Presiden Soekarno karena bukan saja alasan agama, tapi juga sejarah hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan yang sangat erat.

Negara yang terakhir itu layaknya salinan fotokopi dari induknya, yang kata Hamka dulu disebut Melayu, bukan Menang Kerbau, satu sebutan yang digagas Belanda. Dukungan Jawa tentu lebih total pada Ganyang Malaysia karena tak mempunyai hubungan historis seperti Minang, meski pengaruh Jawa sangat kuat karena pada masa Kesultanan Demak banyak prajurit yang dikirim ke Melaka untuk melawan Portugis.

Teori Mimesis

Teori tersebut mengandaikan bahwa seseorang merasa kehilangan sesuatu ketika barang miliknya diambil atau dipinjam orang lain. Keadaan semacam itu sering terjadi pada anak kecil.

Apakah kasus tari pendet mencerminkan teori itu? Siapa pun bisa mencocokkan atau malah mengajukan teori lain untuk menyangkalnya. Secara umum, seseorang akan meradang jika miliknya diambil orang lain.

Masalahnya, kepemilikan tersebut berkaitan dengan hasil kebudayaan yang mengandaikan sejarah penciptaan yang rumit. Misalnya, tari pendet. Bukankah unsur-unsur Hindu begitu kuat di dalamnya yang notabene merupakan warisan India kuno?

Hakikatnya, kedua negara ini mengandaikan pengalaman sejarah panjang yang berjalin kelindan, berbahasa Melayu sebagai lingua-franca dan berlatar belakang alam Nusantara sebelum akhirnya terpisah menjadi dua negara berdasar warisan batas teritorial penjajah, Belanda dan Inggris.

Dalam karya Tuhfah al-Nafis Raja Haji Ali diterangkan betapa orang-orang Bugis telah melakukan penetrasi kepada kesultanan Melaka, sehingga memberikan warna kebudayaannya. Demikian pula, Aceh pada masa kerajaannya telah menjajah negara bagian Malaysia sekarang. Karena itu, tak ayal banyak kebudayaan negeri Serambi Makkah tersebut dipraktikkan di buminya yang baru.

Dalam teori mimesis juga dijelaskan, bahkan walaupun barang yang dipinjam saudaranya itu sudah tak diperlukan, si pemilik ''boneka'' tersebut merengek karena ternyata boneka itu terasa begitu penting, itu pun setelah digunakan orang lain. Tampak, kasus klaim Malaysia terhadap karya ''Indonesia'' mengandaikan keadaan seperti itu.

Masalahnya, setelah barang tersebut dikembalikan oleh saudara yang lain, apakah si pemiliknya akan merawat atau malah menelantarkannya dan disimpan di gudang?

Jauh dari sekadar hiruk-pikuk ini, tidakkah ini bisa dilihat sebagai keberhasilan kreativitas bangsa Indonesia melakukan penetrasi kebudayaan pada negara tetangganya, sebagaimana dilakukan India dan Tiongkok terhadap Malaysia. Sederhana, bukan? (*)

*) Dr Ahmad Sahidah, dosen Peradaban Islam dan Asia, KDU College Pulau Pinang, Malaysia

2 comments:

amethys said...

Saya jadi teringat Alm. Bung Hatta, yg menolak untuk menginjakkan kaki ke Malaysia karena Malaysia menggantung 2 tentara Indonesia pada jaman pemerintahan Bung Karno...
dan janjinya ditepatinya (buku bung Hatta, yg disungting oleh putri beliau)

tapi..sepertinya kemarahan Indonesia terhadap Malaysia tidak hanya budaya yg diakuinya, tetapi juga Malaysia yg "merampok" pulau2 Indonesia....
(Alambat dan juga pulau Jemur).
Apalagi dipicu dengan perlakuan Malaysia terhadap TKI...
Saya sendiri blom pernah ke Malaysia...(selama ini saya menghindari untuk lewat Malaysia)

gandoo said...

Untuk kasus ini saya ambil contoh gamelan. It's a fact bahwa gamelan sekarang tidak dimainkan di jawa saja. negara2 seperti jepang, australia, USA, jerman dsb masing2 saat ini sudah memiliki grup2 gamelan sendiri, yang rata2 dikembangkan oleh kalangan akademisi lewat "jalur" pertukaran budaya. Belum lagi kalau dirunut dari pelaku budayanya, maksudnya orang jawanya. Orang jawa bertebaran dimana-mana, suriname, di negara2 eropa, malaysia juga & disana mereka boleh jadi juga menumbuhkan gamelan sehingga turut mewarnai & menambahi ragam budaya di tempat mereka berada....boleh dibilang gamelan sudah "milik" dunia, bukan "milik" indonesia saja. Proses ini berlaku juga untuk produk budaya yang lain seperti wayang, batik, tari dsb.

Yang jadi masalah adalah etika, and I mean your ethics, malaysian, my "dear" neighbour. Karena produk2 budaya indonesia itu ada di malaysia, tidak bisa lantas serta merta you memanfaatkan itu untuk cari uang.

Pemasangan ikon/simbol produk budaya indonesia dalam iklan promosi malaysia, citra atau image yang sampai ke penonton otomatis bahwa itu produk budaya malaysia. dan karena iklan itu bersifat profitable (untuk "memancing" pelancong ke malaysia) menambah masalah, karena you "pinjam" ikon gak bilang-bilang, you dapat benefit, indonesia buntung. Apalagi bahasa iklan (& motivasi keuntungan) you malaysian tidak akan menyebutkan (baik berupa tulisan maupun gambar) bahwa "...produk2 budaya yang kami tampilkan ini sebenarnya asli indonesia/ada di indonesia juga/whatever...", and at this point, iklan itu menutupi fakta bahwa ikon2 budaya yang you pakai itu ASLINYA/ASALNYA dari indonesia.
You pakai ikon itu dalam iklan, si penonton iklan akan mempersepsi bahwa itu asli malaysia. just simple as that. dan di sinilah letak you punya kesalahan.

Ok-lah kita bisa (dengan terpaksa) memahami asalnya sama, masih serumpun, ada kesamaan akar budaya, jadi you juga merasa berhak memiliki. (meskipun dengan alasan ini saya juga dengan enteng bisa bilang bahwa Polka juga milik indonesia, Kabuki juga milik indonesia, Baju Sari-Kebab-Piramid-Stonehenge-whatever itu juga bisa dipakai indonesia untuk promosi wisata, karena kita semua sedunia adalah serumpun, anak cucu nabi adam hehehe....betul tak? kalau masalah asal mula mudah saja dipakai alasan)

Well, yes, there are pengrawit & grup karawitan di jepang, tapi mereka punya etika tidak lantas memanfaatkan itu & mempromosikan gamelan sebagai budaya mereka melalui iklan2 yang bertujuan untuk mencari profit. Begitu pula mereka2 pengapresiasi budaya indonesia/budaya timur di eropa, US, aussie dsb, yang menempatkan budaya timur ini dalam konteks cross-culture & cultural exchange, ke dalam suatu bincang-bincang budaya, & berkontribusi dalam mengembangkan budaya itu dengan cara mereka sendiri tapi tetap berakar pada asalnya, misalnya untuk kasus gamelan, dengan membuat komposisi2 gamelan sendiri atau memasukkan unsur2 gamelan dalam komposisi musik yang berakar dari budaya musik barat, dsb.

Sementara you, yang mengaku tetangga, serumpun, saudara, malah menempatkan budaya itu dalam konteks kapitalis, seenaknya main comot pakai milik indonesia buat cari duit.

I guess you my beloved neighbour malaysian yang sudah sangat civilized & educated, please, belajar lagi soal etika....

Puasa [17]

  Berhenti sejenak untuk membaca koran Jawa Pos , saya tetiba merasa lungkrah. Satpam kampus memutar lagu jiwang, pas Iklim dengan Hanya Sua...