Friday, November 20, 2009

Mengurusi Aliran Sesat

Wacana Suara Merdeka, 13 Nopember 2009

  • Oleh Ahmad Sahidah
Majelis Ulama Islam (MUI) Kudus menetapkan aliran Sabdo Kusumo di Desa Kauman, Kecamatan Kota sebagai sesat karena melafalkan syahadat yang berbeda, yaitu Asyhadu anlaa ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Sabdo Kusumo rasulullah (SM, 12/11/09). Kata Muhammad diganti dengan Sabdo Kusumo, yang jelas-jelas mengandaikan rasul baru. Ketidaklaziman ini tentu dengan mudah mendorong pihak berwenang untuk mengambil tindakan agar keresahan sosial tak meruyak.

Ada dua hal penting yang perlu ditelusuri dari peristiwa di atas, yaitu kemapanan ajaran agama dan stabilitas sosial. Islam telah mengandaikan dasar-dasar normatif yang jelas berkait dengan kredo. Muhammad dianggap nabi terakhir. Jika ada aliran yang menyatakan ada nabi baru, maka otoritas agama segera meminta diusut dan menuntut aparat untuk mengambil tindakan agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Pembiaran aliran yang dianggat sesat ini dikhawatirkan menimbulkan tindakan kekerasan.

Sejatinya, aliran sesat bukan fenomena baru. Sejak zaman awal Islam di Nusantara, kelompok-kelompok yang menyimpang ini telah hadir sebagai otokritik terhadap praktik keagamaan pada waktu itu. Segelintir penganutnya tidak menemukan kedamaian dari agama yang dirayakan oleh penguasa dan pengawalnya. Tentu, pihak berwenang dengan mudah menumpas gerakan sempalan ini sembari menabalkan dirinya telah memelihara ajaran suci. Tapi, benarkah?

Menemukan Pemicu Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur, berkomentar bahwa pemicu tumbuhnya aliran sesat karena faktor pendidikan rendah dan kesulitan ekonomi, yakni dengan merujuk pada kasus Santriloka (Detik, 31/10/09). Gus Aan, sang pendiri aliran yang berbasis di Mojokerto ini, tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang meyakinkan, demikian pula pengikut ajarannya adalah orang kebanyakan yang secara ekonomi lemah. Meskipun dua faktor ini bukan merupakan variabel mutlak, namun ekonomi dan pendidikan memegang posisi penting dalam membentuk kesadaran agama seseorang, bahkan lebih jauh lagi, politik, sosial dan kebudayaan.

Mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal itu menawarkan jalan keluar dari kusut masai ini dengan mendorong pesantren untuk meningkatkan bimbingan keagamaan dan mengefektifkan peran pemerintah dalam mengembangkan perekonomian masyarakat. Tampak secara tersirat pernyataan ini bisa ditafsirkan bahwa praktik sesat itu muncul disebabkan pengawal agama gagal memberikan pemahaman yang bisa diterima oleh khalayak dan masa yang sama kegagalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam bidang sandang-pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.

Jadi, tindakan keras yang dilakukan pihak berwenang adalah tidak adil karena kesalahan itu tidak sepenuhnya ditanggung oleh kelompok yang mengamalkan ajaran baru yang dianggap telah menyimpang. Jika orang pintar dan orang kaya yang menduduki jabatan elite di agama dan pemerintahan membiarkan aliran sesat dihakimi oleh massa, maka sejatinya mereka menutupi kelemahannya karena tidak mampu menjalankan amanah dan tanggungjawab mengurus umat. Adalah zalim menghukum mereka yang lemah, sementara mereka yang memanggul amanah tak dihukum karena gagal menunaikan tugasnya.

Tugas Bersama Dari kenyataan sederhana di atas, masalah aliran sesat tidak semata-mata berkait dengan ajaran normatif, tetapi juga berkait dengan kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Mengurai benang kusut ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pendekatan keagamaan an sich hanya akan menimbulkan benturan dan penolakan dari kelompok terkait. Upaya Departemen Agama Kudus untuk meminta keterangan Sabdo Kusumo adalah langkah bijak agar tercipta dialog antara pemegang otoritas dan masyarakat. Menekan Sabdo Kusumo dengan keras hanya akan mengurangi wibawa, karena kelompok semacam ini sebenarnya tidak mendapat dukungan masyarakat luas dan lemah secara politik dan ekonomi.

Justeru para agamawan sepatutnya mendorong ajaran-ajaran progresif Kitab Suci berkait dengan pembelaan terhadap kaum dhuafa (miskin miskin), baik ekonomi maupun pengetahuan, untuk mendapatkan perhatian semua pihak. Tentu instrumen ajaran yang layak mendapatkan pertimbangan adalah pemberdayaan zakat. Sayangnya, fungsi sosial dari rukun Islam yang ketiga ini tidak berjalan secara maksimal karena tidak diurus secara profesional. Oleh karena itu, tugas seperti ini seharusnya melibatkan kelompok-kelompok lain, seperti ekonom, dan ilmuwan sosial. Kesadaran semacam ini penting untuk menumbuhkan semangat kebersamaan dan mengelak menimpakan kesalahan pada satu kelompok.

Secara psikologis, para pengikut ajaran sesat menemukan kedekatan emosional dengan ajaran baru karena pemimpinnya bisa duduk bersama mereka. Interaksi semacam ini tentu menimbulkan hubungan batin yang mendalam karena secara fisik mereka berada dalam satu tempat, berbeda dengan kebanyakan para pemimpin keagamaan yang terlalu sibuk dengan dunia panggung dan tradisi feodalisme yang menghalangi hubungan akrab dengan orang kebanyakan. Selagi para pemimpin keagamaan menempatkan dirinya sebagai raja di tengah-tengah kehidupan sehari-hari masyarakat, maka umat yang terabaikan itu akan mencari pemimpin yang mau mendengar kegundahan mereka tanpa harus direcoki dengan hierarki. (80)

—Ahmad Sahidah, PhD, postdoctoral research fellow di Universitas Sains Malaysia

Alquran Menyangkal Sekulerisme


Republika, 20 November 2009

Oleh: Dr Ahmad Sahidah
(Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia)

Ah , betapa hinanya dunya di mana kebahagiaan tidak berjalan lama di dalamnya. Dunya mengombang-ambingkan kami dalam peralihan dan perubahan yang senantiasa dalam keadaan pasang-surut (syair Arab dari Hurqah binti al-Nu'man bin al-Mundir).

Kutipan syair di atas diambil dari karya Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung , yang memang banyak menggunakan syair Arab kuno untuk menemukan makna dasar dan relasional (kaitan) dari kata kunci dalam Alquran.

Biasanya, kata kunci itu diperoleh dari sinonim, antonim, atau pengembangan konseptual dari sebuah kosakata tertentu yang akhirnya memunculkan makna baru terhadap sebuah konsep. Kata 'dunya', misalnya, yang diterjemahkan dengan dunia, adalah sebuah kata kunci berkaitan dengan pandangan Alquran tentang konsep eskatologi.

Dengan memahami kata 'dunya', yang ditelusuri dari penggambaran Alquran tentang kata ini di beberapa tempat, bisa disimpulkan bahwa salah satu dari kepercayaan masyarakat pra-Islam adalah dunia dianggap sebagai akhir dari kehidupan manusia (lihat AlJatsiyah: 24). Tentu saja, implikasi dari pandangan ini telah menyeret penduduk Makkah sebelum Alquran pada praktik nihilisme dan hedonisme.

Mereka begitu mengasyiki hasrat bagaimana mereguk nikmat dunia tanpa peduli kehidupan sesudah mati atau hari kebangkitan. Meskipun mereka mengenal etika, itu belum terbentuk sebuah struktur yang ajeg dan teoretik.

Dengan paradigma teosentrik, seluruh kosakata kitab suci harus merujuk pada fokus tertinggi, Allah. Pandangan dunia Alquran ini telah mengubah weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat Arab pada masa itu yang sebelumnya cenderung 'menggelorakan' pemahaman nihilisme pesimistik, hidup hampa dan berakhir menjadi debu, kepada kepercayaan adanya akhirat. Paganisme juga merupakan ekspresi Arab pra-Islam yang lain untuk menegaskan kepercayaannya kepada hal gaib dan menempatkan Allah di antara berhala-berhala ciptaan mereka sendiri.

Pergeseran makna
Bagaimanapun kehadiran Islam di tanah gersang Arab pada masa itu tetap mengekalkan kosakata yang telah akrab di telinga masyarakat padang pasir. Namun, makna kaitan telah berubah sebab ia harus dirujuk pada fokus tertinggi, Allah. Jika sebelumnya, seluruh kata kunci, seperti karim (dermawan), takwa, kafir, dan lain-lain, mempunyai arti kata yang cenderung berpusat pada diri manusia (homosentris); Alquran menguncinya dengan sebuah paradigma teosentris di mana seluruh kosakata penting menuju puncak piramida, Allah.

Lebih jauh, jelas Izutsu, konsep Tuhan tidak saja berhubungan dengan konsep-konsep agama dan keimanan, tetapi juga semua ide moral, bahkan juga konsep-konsep yang mewakili aspek-aspek keduniawian dalam kehidupan manusia, misalnya perkawinan, perceraian, warisan, serta perdagangan, termasuk perjanjian utang, riba, timbangan, dan sebagainya. Jadi, Islam tidak bisa ditafsirkan sebagai lembaga etik semata-mata, tetapi juga praktik konkret. Di sini, formalisasi syariat menemukan legitimasi.

Dunya yang sebelumnya dianggap satu-satunya tempat eksistensial manusia telah bergeser menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih abadi, akhirat. Kata kunci yang menghubungkan dunia dan akhirat adalah Hari Pengadilan, Kebangkitan, dan Penghitungan. Secara terang-benderang, hal itu menjelaskan sebuah proses panjang pertanggungjawaban manusia selama menjalani hidup. Ini dilakukan dengan analisis semantik budaya, bukan sekadar analisis kata, juga pandangan dunia masyarakat 'kitab', penegasan terhadap dunia mendapatkan makna yang sama sekali berbeda, yaitu sebagai jalan atau sarana menuju kebahagiaan yang lebih abadi, akhirat.

Keseimbangan
Pesan menjaga keseimbangan seperti termaktub dalam sabda Nabi SAW, khoirul umur ausatuha , acap kali diperdengarkan. Ia secara tersurat mencegah kecenderungan manusia yang ingin bebas ('kiri') dan sebaliknya terikat ('kanan'). Sebenarnya, Alquran telah memberikan jawaban terhadap kecenderungan manusia untuk bertindak ekstrem dengan menyodorkan pandangan dunia baru. Ketika orang-orang Arab sebelum risalah Nabi SAW menghabiskan waktu untuk pemenuhan kebutuhan duniawi semata-mata, Alquran menyuguhkan visi revolusioner tentang akhirat, tanpa harus meninggalkan yang pertama.

Namun, persoalannya, apakah label sekulerisme boleh disematkan begitu saja pada kelompok yang ingin memisahkan negara ( dunya ) dan agama (akhirat) atau pada sebuah kelompok yang acap kali menyoal kembali pemahaman keagamaan yang mapan, Islam Liberal, misalnya? Tentu, untuk memastikan 'tuduhan' liar ini, kita harus mengungkap arti sekulerisme itu sendiri sebagaimana diterakan oleh pemiliknya, Barat, yaitu sebagai pembebasan manusia pertama dari agama dan kemudian kontrol metafisik terhadap akal budi dan bahasanya (Cornelis van Peursen, teolog dari Belanda).

Kalau melihat definisi di atas, pribadi atau kelompok yang selama ini dianggap sebagai pengusung pemahaman sekulerisme tidak lebih dari tipu muslihat seterunya. Demikian pula, kepercayaannya terhadap pemisahan agama dan negara sebenarnya tidak bisa dianggap sebagai mengusung sekulerisme. Malah, meskipun menegaskan sebagai sekuler, Partai Wafd Mesir bisa dijadikan rujukan karena meneriakkan al-din li-Lah wa al-watan li al-jami yang bermakna ideologinya didasarkan pada identitas sosial, politik, dan kebangsaan yang tidak merujuk pada agama. Partai bersangkutan tidak menentang agama, tetapi mencegah institusi agama disalahgunakan untuk meraih kepentingan kekuasaan oleh para pengawalnya, ulama.

Dengan demikian, jika agama tidak disalahgunakan, ia dengan sendirinya boleh dijadikan rujukan politik praktis. Bagaimanapun penolakan sekulerisme Alquran lebih ditekankan pada pengagungan kehidupan dunia yang sebenarnya tak akan memberi kebahagiaan apa pun dan acapkali berujung pada ketidakpastian.

Mengejar kepuasaan duniawi hanya akan memurukkan sang pencari pada kebingungan karena dunia hanya alat untuk mencapai kebahagiaan yang lebih tinggi, spritualitas dan tepatnya akhirat, bukan tujuan pada dirinya. Tentu, nilai-nilai semacam ini tidak hanya disampaikan secara normatif melalui ceramah dan pengajian, tetapi lebih jauh diselipkan dalam banyak cara, dunia seni, film, sastra, dan sistem pembelajaran sekolah.

Kata dunya itu juga berhubung secara erat dengan kata kunci lain kekayaan (mal). Dengan jelas, diterakan dalam surah Alhumazah bahwa celakalah orang yang mengumpulkan harta dan menghitungnya seakan-akan bisa mengekalkannya. Pada ayat lain, dengan nada yang berbeda, kita menemukan sebuah frasa yang tuntas bahwa kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (Alhadid: 20). Jadi, penyangkalan Alquran terhadap sekulerisme berpusat pada persoalan bagaimana manusia tidak teperdaya permainan dan senda gurau dunia. Itu saja. Wallahualam .

Tuesday, November 03, 2009

Trek Jogging


Saya tidak lagi menggunakan trek lari (jogging) stadium untuk berolahraga. Selain menghindari kejenuhan, saya menemukan suasana lain di sepanjang jalan di atas. Seorang lelaki tua menyapu jalan dari pasir yang bertaburan, bahkan ketika jam kerja usai. Seorang pekerja perempuan Indonesia yang baru turun dari bis umum, berlari kecil menuju toko bahan bangunan, dan lalu lalang kendaraan yang terburu-buru beranjak pulang.

Dengan menyusuri trotoar, kaki ini berlari kecil untuk membakar lemak yang menimbun di tubuh. Tak jauh dari jalan di atas, jalan menanjak menghadang, yang membuat langkah makin berat. Namun, kaki tetap bergerak, meski melambat. Keringat menetes. Napas beradu cepat. Beberapa menit kemudian, jalan mendatar dijejaki sehingga langkah terasa ringan. Kelegaan menguap dari lubang pori-pori. Tak lama kemudian, jalan menurun, yang justeru tidak membuat nyaman, malah harus menahan tubuh agar tak menggelinding.

Kemarin, saya terpaksa berteduh di bawah pohon nangka karena hujan turun. Dengan menggunakan plastik, saya telah menyimpan telepon genggam agar tak basah. Namun, tak lama kemudian, reda mendera. Sisa butiran hujan hingga di rerumputan dan dedaunan. Meski air merembesi sepatu, saya terus berlari. Matahari pun muncul, memendarkan tetesan air. Sore itu benar-benar indah untuk dinikmati.

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...