Sumber: Kontan, 29 Januari 2010
Ahmad Sahidah
Postdoctoral Research Fellow pada Universitas Sains Malaysia
Penggunaan lambang Garuda pada kaos (t-shirt) produk Armani memantik silang pendapat. Sebagian menyambut positif dan yang lain tidak. Uniknya, sila keempat diganti dengan huruf A, inisial dari merk Armani dan yang kelima dengan E, Exchange. Agak susah bahwa pereka kaos ini merujuk pada lambang Garuda Republik Indonesia, karena dalam laman sesawangnya, pihak penghasil pakaian mahal ini mengklaim lambang kaos tersebut terinspirasi dari lambang militer. Namun, lagi-lagi tak jelas disebutkan sumbernya. Tidak dibayangkan jika pelaku dari penjiplakan ini perusahaan Malaysia, mungkin protes meruyak dan bahkan sebagian kelompok masyarakat mendatangi perwakilan negara tetangga itu di Kuningan untuk melempar telur busuk.
Namun, jika kita mencoba menelaah penggantian lambang banteng dengan Armani, tentu tanpa disadari bahwa sila keempat yang berbunyi Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, Dalam Permusyawaratan Perwakilan, telah digantikan oleh merek pakaian luar, mahal pula. Mungkin, pesan tersirat yang bisa dibayangkan bahwa rakyat di negeri ini tidak lagi dituntun oleh hikmah dan kebijaksanaan, apatah lagi percaya pada hasil keputusan yang ditelorkan oleh wakilnya di Senayan. Masyarakat negeri ini selalu terpukau dengan barang-barang luar, namun anehnya para petinggi negara selalu mengampanyekan cinta produk dalam negeri.
Demikian pula, sila kelima yang digantikan oleh exchange, yang bisa berarti pasar saham, sistem ekonomi yang tidak akrab bagi kebanyakan. Oleh karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah tersandera oleh sistem ekonomi yang tidak bisa diakses khalayak untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pendek kata, negara ini telah diurus oleh para pemegang amanah yang bisa hanya menyenangkan sebagian kecil dari pemilik sah tanah air ini. Kue pembangunan tak sempat menetes ke bawah karena rakyat adalah objek yang cukup dininabobokkan dengan janji-janji kosong.
Jauh dari upaya untuk mencocok-cocokkan di atas, sebenarnya isu ini merupakan ujian untuk mengetes kematangan warga. Jika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar, menyatakan rumah mode Giorgio Armani tak semestinya memakai lambang Garuda dalam produknya, tentu dapat dimaklumi. Bahkan langkah lebih jauh yang akan diambil untuk memperkarakank hak paten tentu tak perlu dihalangi. Pendek kata, hal ihwal berkait dengan hak milik perlu diselesaikan secara terukur. Tetapi, apakah memang benar demikian?
Jauh dari sekadar mempertahankan kesucian burung Garuda sebagai simbol negara, kita perlu lebih jauh menggugat apakah kita telah menyucikan nilai-nilai Pancasila yang dikandung dalam dada burung yang berasal mitologi Hindu itu? Tak dielakkan, banyak orang merasa terganggu dengan pelecehan terhadap lambang-lambang negara, namun pada masa yang sama abai terhadap apa yang sebenarnya diusung dari lambang-lambang itu. Simbol itu sebenarnya merupakan pengganti dari sesuatu yang tidak diungkapkan secara verbal dan diungkapkan dengan tanda yang lain. Pelecehan terhadap nilai-nilai itulah sebenarnya yang seharusnya mendorong penguasa atau siapapun untuk bertindak sigap dan cepat.
Garuda yang selalu diletakkan di atas tembok yang biasanya diapit oleh presiden dan wakil presiden mengandaikan apa yang disebut perangkat agama sipil oleh Robert Bellah, sosiolog terkenal Amerika. Adalah wajar jika banyak orang mempertahankan, bahkan dengan darah sekalipun. Sebuah tindakan yang hampir menyerupai jihad dalam agama. Celakanya, kepekaan masyarakat hanya terpaku pada penyucian simbol, dalam hal ini Garuda, namun gagal memperjuangkank prinsip-prinsip dan cita-cita apakah yang ingin diwujudkan dari perlambangan tersebut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar, yang bakal memanggil Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual mempelajari kasus ini adalah sekaligus menteri yang menerima mobil Toyota Royal Saloon. Jadi, apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh kader Partai Amanat Nasional itu? Kalau hanya sekadar ingin tampil gagah karena telah membela simbol negara, bukankah pada waktu yang sama kandungan simbol itu sendiri telah diinjak-injak? Hikmah dan kebijaksanaan apakah yang ada dalam benak menteri itu dengan tindakannya?
Seharusnya, kejadian ini dijadikan pengingat bahwa lambang negara itu telah lama dilupakan. Dengan peristiwa ini, bangsa ini sejatinya menemukan momentum untuk kembali pada common denominator (kalimatun sawa), pengikat bersama, menjadi sebuah negara-bangsa. Jika ke seluruh sila itu dibela dalam pengertian yang sesungguhnya, di mana masyarakat bisa meraih ketenangan spiritual dan kesejahteraan material, mungkin mereka tak hirau dengan isu penjiplakan tersebut. Bisa jadi, karena para pemanggul amanah itu tak bisa mewujudkan janjinya, maka isu ini diangkat untuk menutupi kegagalannya.
Adalah riskan jika pihak tertentu di sini menggugat Armani karena logo yang digunakan tidak sepenuhnya meniru, meski tidak dielakkan ada beberapa yang sama, seperti sayapnya berjumlah tujuh belas dan ekornya delapan, namun penggantian lambang sila dengan huruf A dan E, tentu menjadi celah bagi perusahaan tersebut untuk berkilah. Sejatinya kegigihan untuk membela Garuda dari tangan-tangan usil justeru menjadi tantangan bagaimana seluruh masyarakat untuk menguji apakah kandungan sila itu telah dibela dari pengkhianatan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri? Kalau alpa, mungkin mereka gagal memahami keterkaitan erat atau simbol dan tanda yang diusungnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mainan
Mengapa anak perempuan bermain masak-masakan dan anak lelaki mobil-mobilan? Kata tanya mendorong mereka untuk berpikir. Pada gilirannya kita...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment