Thursday, April 08, 2010
Mengaji di Masjid Tertua
Pertama kali menginjak kaki di Masjid tertua di Sulawesi Selatan (1603M), saya menemukan pemandangan di atas, anak-anak belajar membaca al-Qur'an. Tiba-tiba saya merasa disergap keharuan, karena masjid yang telah renta itu menjadi hidup dengan reriuhan anak-anak kecil. Namanya juga anak-anak, sang ustazah acapkali berteriak agar mereka diam dan tertib. Kedatangan kami mencuri perhatian mereka.
Sayangnya, kami tidak bisa bersembahyang di dalam masjid, karena maghrib belum tiba. Pengurus masjid tak ada di tempat. Untuk itu, kami pun beranjak menunaikan shalat ashar di Masjid baru, Syekh Yusuf, tak jauh dari lokasi makan keturunan Raja Goa ini. Mungkin karena bukan hari libur, Kamis, tempat bersejarah ini tak dikunjungi pelancong atawa wisatawan. Hebatnya, sebagian makam keluarga raja yang berada di halaman masjid ditutup dengan bangunan berbentuk piramid. Saya tak tahu apakah ini diilhami dari kebudayaan Mesir kuno.
Mengingat keturunan raja Goa tersebat di seantero dunia, sepatutnya tempat ini dirawat dengan baik. Tapi, pihak terkait abai. Atau kesan 'tak terawat' itu dibiarkan agar wajah 'kuno'nya tidak hilang. Ya, pagar makam tampak ditumbuhi lumut dan dibiarkan menghijau.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Syawalan Kesepuluh
Senarai keinginan ditunjukkan di X agar warga yang membaca bisa menanggapi. Maklum, buku ini tergolong baru di rak buku Periplus mal Galaxi....
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Dulu tatkala membaca karya Louis Dupre, saya menekuri teks berupa anggitan huruf-huruf di atas kertas. Penulis "Religious Mystery and...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Sang imam, Ust...
No comments:
Post a Comment