Setelah pengurus surau tak lagi menetapkan imam sembahyang, para jamaah bergantian memimpin shalat. Satu sama lain kadang saling mengelak. Namun, boleh dikatakan ada beberapa orang yang selalu mengambil posisi terdepan. Lucunya, ketika seorang penduduk lokal diminta menjadi imam, ia pun mengelak sambil berujar, “ I’m not Arab”, pada anggota jamaah yang kebetulan orang Arab, mahasiswa asal Yaman, yang juga sama-sama tinggal di flat. Diam-diam, kami ‘Melayu’ merasa orang Timur Tengah lebih layak untuk memimpin shalat.
Namun tak semua, mahasiswa Arab itu mau menjadi imam. Ada salah satu dari mereka yang rajin mengumandangkan azan dan iqamah, tanda shalat akan ditunaikan. Kehadirannya telah membuat surut kami tak roboh, meminjam judul cerita pendek terkenal AA Navis, sastrawan asal Minangkabau, Sumatera Barat. Bagaimana tidak, ia juga menghidupkan Zuhur dan Ashar, yang sebelumnya sepi, karena penghuninya pergi bekerja atau belajar. Hebatnya lagi, ia juga acapkali membawa dua anak perempuannya ke musalla, membuat suasana riuh rendah. Malah sekali waktu, teman-temanya yang lain juga mengajak putera-puterinya, sehingga surau ramai dengan celotehan mereka.
Dulu, saya pergi ke surau tanpa menggunakan penutup kepala. Tapi warga di sana tampak menggunakan kopiah dan sarung, saya pun melakukan hal yang sama. Kata karib saya dari Kedah, tradisi ‘kampung’ itu kadang begitu kuat memegang kebiasaan ini, sehingga ia seakan-akan telah menjadi bagian dari ibadah. Namun kehadiran banyak mahasiswa asal Timur Tengah dan Afrika menambah warna cara berpakaian, seperti jubah. Sementara dari benua hitam, baju yang menempel di tubuh mereka dihiasi dengan warna-warna mencolok. Uniknya, salah seorang mahasiswa Arab sekali waktu membuat heran kami orang lokal, karena ia hanya menggunakan celana ¾, tak jauh dari lutut. Yang lain mengejutkan lagi karena menggunakan kaos dan celana training, olahraga, namun dengan fasih melantunkan ayat al-Qu’ran ketika didapuk menjadi iman. Di lain waktu, anggota yang lain, mahasiswa psikometri asal Nigeria, sering diminta untuk menjadi imam, termasuk oleh teman-teman Arab. Suaranya emas.
Semalam, saya menjumpai lagi Marzuq dan kawan-kawannya mengikuti shalat berjamaah. Ternyata mereka sedang belajar membaca Iqra di tingkat lima pada seorang ibu. Ya, dalam dua hari ini, surau tampak ceria dengan kehadiran anak-anak kecil. Ini menyempurnakan kehadiran banyak warga Arab, yang baru saja pindah dari rumah keluarga kampus. Surau itu makin berwarna.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment