Keingintahuan pelancong masa kini tidak lagi sebatas artifak, tetapi juga cerita yang ada di balik peninggalan bersejarah. Misalnya, ketika kami mengunjung benteng Rotterdam, guide yang bertugas di situ menerangkan hal ihwal gedung bekas pertahanan Belanda secara terperinci. Kepiawaian bercerita petugas membuat benda-benda mati itu seakan-akan berbicara pada pengunjung
Cik Najwa, dosen di Kolej Universiti Islam Selangor, tidak dapat menyembunyikan rasa bangganya menemukan kembali jejak nenek moyangnya, Bugis. Dalam sesi seminar internasional Wacana Ilmiah Muslim se-ASEAN di Universitas Muhammadiyah Makasar, 29-31 Maret 2010, lajang asal negeri Semenanjung ini menyelipkan informasi bahwa Sultan Selangor, Syarafuddin Syah adalah keturunan Bugis dan termasuk dirinya.Pengakuan yang terakhir memantik tawa peserta seminar. Bahkan, ketika melakukan kunjungan ke Musium Port Rotterdam, ia tampak tepekur mendengarkan pemandu (guide) yang menjelaskan sejarah masa lalu negeri Anging Mamiri ini. Ketika rombongan menemukan rumah gaya Bugis lama, ia spontan memberi tahu rekan yang lain bahwa rumah model Bugis lama itu tak jauh beda dengan rumah yang ada di kampungnya, nun jauh di bumi Semenanjung.
Meskipun kedekatan emosional itu jelas adanya, namun ketika tiga profesor dari Universitas Sains Malaysia, Azizan Sabjan, Syakirah Mat Akhir, dan Jaelani menyampaikan makalah, tak ayal pertanyaan tentang nasib tenaga kerja Indonesia di negeri tetangga mencuat ke permukaan. Bahkan, salah seorang peserta seminar menyinggung kasus Manohara dalam sesi soal-jawab.
Dr Jaelani, dosen Pendidikan Jarak Jauh, menjawab pertanyaan ini sebagaimana selalu ditemukan di beberapa media di Malaysia. Kasus penganiayaan itu hanya sebagian kecil, atau dalam bahasa mereka terpencil. Demikian pula, kasus rumah tangga pangeran Kelantan dan puteri Daisy Fajarina tersebut telah dibesar-besarkan oleh media. Padahal, kasus itu tak lebih dari konflik rumah tangga, yang kata orang sana telah disensasikan.
Terlepas dari konflik ini, ternyata hubungan dua negeri ini sangat erat. Kenyataan ini bisa ditilik dari sejarah masa lalu Makasar dan Semenanjung Malaysia. Modal inilah seharusnya yang ditonjolkan untuk menjalin hubungan lebih tulus.
Apatah lagi, jalinan ini telah dipererat kembali oleh Najib Tun Razak, Perdana Menteri Malaysia, yang kebetulan keturunan Bugis, melalui kerja sama dengan pemerintah Sulawesi Selatan, seperti pengadaan bahan pangan. Bahkan, lebih jauh, ayahanda orang nomor satu negeri tetangga tersebut dijadikan nama sebuah jalan di Makasar. Namun demikian, pada waktu yang sama, hubungan antara kedua masyarakat juga perlu disemai, karena mereka mempunyai kesempatan lebih luas dan luwes untuk saling berkongsi keuntungan. Kerja sama seminar di atas adalah secuil ikhtiar untuk menyuburkan hubungan serumpun di tingkat masyarakat.
Menilik Kelebihan
Ketika Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengiklankan visit Indonesia 2009 di TV 3 Malaysia, Makasar adalah tujuan wisata yang ditawarkan selain Jakarta dan Yogyakarta. Tentu, kehadiran Maskapai Penerbangan Air Asia yang menempuh rute Kuala Lumpur-Makassar langsung akan mendorong hasrat berpelesir kedua warga itu untuk tidak hanya terpaku pada dua kota tersebut terakhir. Apatah lagi, Tun Mahathir dalam blognya yang dikunjungi jutaan pengunjung menulis dengan nada simpatik bahwa Makassar adalah tujuan pariwisata yang elok, karena banyak pantai yang bagus, makanan laut yang melimpah dan tempat penginapan yang cantik. Tak hanya itu, masyarakatnya juga ramah dan harga barang lebih murah.
Tidak hanya keistimewaan di atas, Makassar mempunyai sejarah besar yang bisa dijadikan legenda dan bahan ajar untuk menarik banyak orang datang. Seperti dijelaskan oleh Rhenald Kasali, dosen Universitas Indonesia, bahwa dunia pariwisata sekarang kembali ke asal, menjual mitos, tepatnya, cerita, yang membuat pengunjung terpegun. Keingintahuan pelancong masa kini tidak lagi sebatas artifak, tetapi juga cerita yang ada di balik peninggalan bersejarah. Misalnya, ketika kami mengunjung benteng Rotterdam, guide yang bertugas di situ menerangkan hal ihwal gedung bekas pertahanan Belanda secara terperinci. Kepiawaian bercerita petugas membuat benda-benda mati itu seakan-akan berbicara pada pengunjung.
Demikian pula, ketika saya menemani warga Malaysia mengunjungi makam Syekh Yusuf, di sana pengunjung menziarahi makam tokoh pejuang kemerdekaan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga Afrika Selatan. Dengan dipimpin oleh ustaz dari Selatan Thailand, para pelancong dari Malaysia membaca surah yasin dan tahlil di kuburan. Tentu, dengan kebesaran nama tokoh ini, calon pelancong potensial bisa diharapkan datang lebih banyak, tidak hanya dari Malaysia, bahkan seantero dunia. Bukankah tokoh tersebut juga dihormati oleh Nelson Mandera, bekas presiden negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Sepak Bola Dunia tahun ini?
Tak hanya itu, museum yang menyimpan barang-barang kerajaan masa lalu masih terletak rapi. Para pengunjung bisa membaui masa lalu, seperti jejak keturunan raja-raja di seantero negeri.
Tak hanya itu, sejarah perjuangan rakyat Makasar melawan Belanda terekam dengan terang karena bukti-bukti artifak masih terlihat jelas. Kenyataan ini tentu membuat warga mempunyai pegangan yang kokoh dan orang luar menemukan cerita yang patut dicerna.
Malah ketika mengunjungi Musium Balla Lompoa, Gowa, kami menemukan nuansa masa lalu yang hadir begitu dekat karena bisa merasakan secara langsung dengan memegang peninggalan masa lalu dengan seluruh indera.
Memelihara Warisan
Namun cerita besar itu tak dirawat dengan baik. Ketika tuan rumah, KH Mustari Bosra, mengantar rombongan ke makam Syekh Yusuf, para pengunjung disergap rasa tak nyaman. Jalan beraspal di depan makam berlubang, sehingga kendaraan terguncang hebat.
Lalu, setelah memasuki makam, rasa tak nyaman bertambah karena pekerja kebersihan di ruangan makam hanya bercelana pendek dan tampak tidak elok berada di dalam bangunan makam yang sepatutnya mendapatkan penghormatan.
Tak hanya itu, di dalam ruangan juga terdapat foto pejabat publik, sehingga membuat makam tak lagi magis. Seharusnya, bilik seperti ini tidak dicampuri hal ihwal politik.
Belum lagi, banyak anak kecil yang bermain bola di lokasi. Tampak, rumah terakhir pejuang kemerdekaan itu tak lagi nyaman untuk dikunjungi. Malah, dua anak kecil mengejar mobil rombongan untuk meminta sedekah, yang membuat pelancong menggelengkan kepala karena dua anak tak berdosa itu bisa terjatuh.Potret yang tidak asing di sini. Tantangan yang juga harus dijawab oleh para calon bupati yang akan bertanding di Kabupatan Goa. Demikian pula, masjid tertua di Sulawesi Selatan yang dibangun tak jauh dari makam Syekh Yusuf. Sayangnya, lingkungan yang kotor dan keadaan masjid tua itu tampak renta. Tentu, pihak terkait tak perlu menggelontorkan dana besar untuk membuat tampak kinclong. Cukup tembok yang membatasi makam dan jalan raya dikapur agar lumut tak berkembang biak.
Demikian juga bangunan-bangunan lain. Padahal di lokasi terpampang papan tanda Departemen Kebudayaan yang menyatakan tempat tersebut sebagai cagar budaya.
Tak jauh dari rumah ibadah yang ditempati keturunan Raja Goa, kami pun beranjak ke museum Balla Lompoa yang juga mengalami nasib serupa. Memang, sedang dilakukan perbaikan, tetapi sampah yang berserak tidak harus dibiarkan. Nasib cagar budaya yang terabaikan seakan-akan menempelak sebuah papan tanda di benteng Port Rotterdam, yang berbunyi Melestarikan Cagar Budaya adalah Kewajiban Setiap Warga Negara.
Justeru, pelanggaran yang paling nyata ditemui di dalam gedung, di mana koleksi pelbagai jenis kayu bahan pembuatan kapal dipenuhi coretan. Padahal spanduk bertuliskan Gerakan Sayang Musium masih terpampang di atap bagian luar. Ajakan untuk menjadikan musium sebagai pilar pendidikan, pelestarian budaya dan tujuan wisata belum bergema di benak warga.
Namun, ikhtiar untuk mewujudkan mimpi telah ditunjukkan dengan kepergiaan gubernur ke Belanda untuk merawat musium yang tampak mulai uzur. Maukah pihak yang terkait juga mengubah keadaan di tempat yang lain dan menyuburkan kesadaran untuk merawat warisan?***
Sumber: Tribun Timur, 6 April 2010
No comments:
Post a Comment