Selasa, 6 April 2010 | 01:09 WITA Keingintahuan pelancong masa kini tidak lagi sebatas artifak, tetapi juga cerita yang ada di balik peninggalan bersejarah. Misalnya, ketika kami mengunjung benteng Rotterdam, guide yang bertugas di situ menerangkan hal ihwal gedung bekas pertahanan Belanda secara terperinci. Kepiawaian bercerita petugas membuat benda-benda mati itu seakan-akan berbicara pada pengunjung
Cik Najwa, dosen di Kolej Universiti Islam Selangor, tidak  dapat menyembunyikan rasa bangganya menemukan kembali jejak nenek  moyangnya, Bugis. Dalam sesi seminar internasional Wacana Ilmiah Muslim  se-ASEAN di Universitas Muhammadiyah Makasar, 29-31 Maret 2010, lajang  asal negeri Semenanjung ini menyelipkan informasi bahwa Sultan Selangor,  Syarafuddin Syah adalah keturunan Bugis dan termasuk dirinya.Pengakuan yang terakhir memantik tawa peserta seminar. Bahkan, ketika  melakukan kunjungan ke Musium Port Rotterdam, ia tampak tepekur  mendengarkan pemandu (guide) yang menjelaskan sejarah masa lalu negeri  Anging Mamiri ini. Ketika rombongan menemukan rumah gaya Bugis lama, ia spontan memberi  tahu rekan yang lain bahwa rumah model Bugis lama itu tak jauh beda  dengan rumah yang ada di kampungnya, nun jauh di bumi Semenanjung.
Meskipun kedekatan emosional itu jelas adanya, namun ketika tiga profesor dari Universitas Sains Malaysia, Azizan Sabjan, Syakirah Mat Akhir, dan Jaelani menyampaikan makalah, tak ayal pertanyaan tentang nasib tenaga kerja Indonesia di negeri tetangga mencuat ke permukaan. Bahkan, salah seorang peserta seminar menyinggung kasus Manohara dalam sesi soal-jawab.
Dr Jaelani, dosen Pendidikan Jarak Jauh, menjawab pertanyaan ini  sebagaimana selalu ditemukan di beberapa media di Malaysia. Kasus  penganiayaan itu hanya sebagian kecil, atau dalam bahasa mereka  terpencil. Demikian pula, kasus rumah tangga pangeran Kelantan dan  puteri Daisy Fajarina tersebut telah dibesar-besarkan oleh media.  Padahal, kasus itu tak lebih dari konflik rumah tangga, yang kata orang  sana telah disensasikan.
Terlepas dari konflik ini, ternyata hubungan dua negeri  ini sangat  erat. Kenyataan ini bisa ditilik dari sejarah masa lalu Makasar dan  Semenanjung Malaysia. Modal inilah seharusnya yang ditonjolkan untuk  menjalin hubungan lebih tulus.
Apatah lagi, jalinan ini telah dipererat kembali oleh Najib Tun Razak,  Perdana Menteri Malaysia, yang kebetulan keturunan Bugis, melalui  kerja  sama dengan pemerintah Sulawesi Selatan, seperti pengadaan bahan  pangan. Bahkan, lebih jauh, ayahanda orang nomor satu negeri tetangga  tersebut dijadikan nama sebuah jalan di Makasar. Namun demikian, pada waktu yang sama, hubungan antara kedua masyarakat  juga perlu disemai, karena mereka mempunyai kesempatan lebih luas dan  luwes untuk saling berkongsi keuntungan.  Kerja sama seminar di atas  adalah secuil ikhtiar untuk menyuburkan hubungan serumpun di tingkat  masyarakat.
      
Menilik Kelebihan 
Ketika Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengiklankan visit Indonesia  2009 di TV 3 Malaysia, Makasar adalah tujuan wisata yang ditawarkan  selain Jakarta dan Yogyakarta. Tentu, kehadiran Maskapai Penerbangan Air  Asia yang menempuh rute Kuala Lumpur-Makassar  langsung akan mendorong  hasrat berpelesir kedua warga itu untuk tidak hanya terpaku pada dua  kota tersebut  terakhir. Apatah lagi, Tun Mahathir dalam blognya yang dikunjungi jutaan  pengunjung menulis dengan nada simpatik bahwa Makassar adalah tujuan pariwisata  yang elok, karena banyak pantai yang bagus, makanan laut yang melimpah  dan tempat penginapan yang cantik. Tak hanya itu, masyarakatnya juga  ramah dan harga barang lebih murah.
Tidak hanya keistimewaan di atas, Makassar mempunyai sejarah besar yang bisa dijadikan legenda dan bahan ajar  untuk menarik banyak orang datang. Seperti dijelaskan oleh Rhenald  Kasali, dosen Universitas Indonesia, bahwa dunia pariwisata sekarang  kembali ke asal, menjual mitos, tepatnya, cerita, yang membuat  pengunjung terpegun. Keingintahuan pelancong masa kini tidak lagi sebatas artifak, tetapi  juga cerita yang ada di balik peninggalan bersejarah. Misalnya, ketika  kami mengunjung benteng Rotterdam, guide yang bertugas di situ  menerangkan hal ihwal gedung bekas pertahanan Belanda secara terperinci.  Kepiawaian bercerita petugas membuat benda-benda mati itu seakan-akan  berbicara pada pengunjung. 
Demikian pula, ketika saya menemani warga Malaysia mengunjungi makam  Syekh Yusuf, di sana pengunjung menziarahi makam tokoh pejuang  kemerdekaan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga Afrika Selatan. Dengan  dipimpin oleh ustaz dari Selatan Thailand, para pelancong dari Malaysia  membaca surah yasin dan tahlil di kuburan. Tentu, dengan kebesaran nama tokoh ini, calon pelancong potensial bisa  diharapkan datang lebih banyak, tidak hanya dari Malaysia, bahkan  seantero dunia. Bukankah tokoh tersebut juga dihormati oleh Nelson  Mandera, bekas presiden negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Sepak  Bola Dunia tahun ini? 
Tak hanya itu, museum yang menyimpan barang-barang kerajaan masa lalu  masih terletak rapi. Para pengunjung bisa membaui masa lalu, seperti  jejak keturunan raja-raja di seantero negeri.
Tak hanya itu, sejarah perjuangan rakyat Makasar melawan Belanda terekam  dengan terang karena bukti-bukti artifak masih terlihat jelas.  Kenyataan ini tentu membuat warga mempunyai pegangan yang kokoh dan  orang luar menemukan cerita yang patut dicerna.
Malah ketika mengunjungi Musium Balla Lompoa, Gowa, kami menemukan  nuansa masa lalu yang hadir begitu dekat karena bisa merasakan secara  langsung dengan memegang peninggalan masa lalu dengan seluruh indera.
       
Memelihara Warisan 
Namun cerita besar itu tak dirawat dengan baik. Ketika tuan rumah, KH  Mustari Bosra, mengantar rombongan ke makam Syekh Yusuf, para pengunjung  disergap rasa tak nyaman. Jalan beraspal di depan makam berlubang,  sehingga kendaraan terguncang hebat.
Lalu, setelah memasuki makam, rasa tak nyaman bertambah karena pekerja  kebersihan di ruangan makam hanya bercelana pendek dan tampak tidak elok  berada di dalam bangunan makam yang sepatutnya mendapatkan  penghormatan.
Tak hanya itu, di dalam ruangan juga terdapat foto pejabat publik,  sehingga membuat makam tak lagi magis. Seharusnya, bilik seperti ini  tidak dicampuri hal ihwal politik.
Belum lagi, banyak anak kecil yang bermain bola di lokasi. Tampak, rumah  terakhir pejuang kemerdekaan itu tak lagi nyaman untuk dikunjungi.  Malah, dua anak kecil mengejar mobil rombongan untuk meminta sedekah,  yang membuat pelancong menggelengkan kepala karena dua anak tak berdosa  itu bisa terjatuh.Potret yang tidak asing di sini. Tantangan yang juga harus dijawab oleh  para calon bupati yang akan bertanding di Kabupatan Goa. Demikian pula,  masjid tertua di Sulawesi Selatan yang dibangun tak jauh dari makam  Syekh Yusuf. Sayangnya, lingkungan yang kotor dan keadaan masjid tua itu tampak  renta. Tentu, pihak terkait tak perlu menggelontorkan dana besar untuk  membuat tampak kinclong. Cukup tembok yang membatasi  makam dan jalan  raya dikapur agar lumut tak berkembang biak.
Demikian juga bangunan-bangunan lain. Padahal di lokasi terpampang papan  tanda Departemen Kebudayaan yang menyatakan tempat tersebut sebagai  cagar budaya. 
Tak jauh dari rumah ibadah yang ditempati keturunan Raja Goa, kami pun beranjak ke museum Balla Lompoa yang juga mengalami nasib serupa. Memang, sedang dilakukan perbaikan, tetapi sampah yang berserak tidak harus dibiarkan. Nasib cagar budaya yang terabaikan seakan-akan menempelak sebuah papan tanda di benteng Port Rotterdam, yang berbunyi Melestarikan Cagar Budaya adalah Kewajiban Setiap Warga Negara.
Justeru, pelanggaran yang paling nyata ditemui di dalam gedung, di mana  koleksi pelbagai jenis kayu bahan pembuatan kapal dipenuhi coretan.  Padahal spanduk bertuliskan Gerakan Sayang Musium masih terpampang di  atap bagian luar. Ajakan untuk menjadikan musium sebagai pilar  pendidikan, pelestarian budaya dan tujuan wisata belum bergema di benak  warga.
Namun, ikhtiar untuk mewujudkan mimpi telah ditunjukkan dengan  kepergiaan gubernur ke Belanda untuk merawat musium yang tampak mulai  uzur. Maukah pihak yang terkait juga mengubah keadaan di tempat yang  lain dan menyuburkan kesadaran untuk merawat warisan?***
Sumber: Tribun Timur, 6 April 2010
No comments:
Post a Comment