Ahmad Sahidah
Fellow Peneliti Pascadoktoral Universitas Sains Malaysia
Media cetak dan elektronik kembali berfungsi sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Sayangnya, pada masa yang sama, sebagian pemilik media menggunakan alat ini untuk mengokohkan kedudukan politiknya dalam pertarungan kekuasaan.
Aneh, televisi dan koran yang seharusnya menyuarakan kepentingan publik, malah merupakan kepanjangan suara segelintir elite dan kelompok kartelnya. Untungnya, masih ditemukan media yang dengan teguh memegang prinsip jurnalistik, tidak berpihak, kecuali pada kebenaran.
Jika demikian, apa yang harus dilakukan? Menggantungkan harapan pada media yang menjadi kepanjangan tangan segelintir orang membuat sempit wilayah para intelektual untuk menyuarakan apa yang menurut mereka kebenaran.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong intelektual publik untuk bersuara lantang. Sosok ini layaknya intelektual, yang berurusan dengan gagasan, namun mereka menulis (juga berbicara) untuk masyarakat lebih luas, bukan hanya kaum sarjana, konsultan atau profesional, tegas Richard A Posner dalam Public Intellectuals: A Study of Decline. Oleh karena itu, John Rawls tidak termasuk di dalamnya meskipun menyalin kerumitan filsafat dalam isu politik penting, karena penulis karya fenomenal A Theory of Justice ini tidak menulis untuk khalayak luas.
Ikhwal pembicaraan juga berkait dengan kepentingan publik serta persoalan politik dalam pengertian lebih luas. Gus Dur dengan tuntas memainkan peran ini ketika tokoh yang dianggap guru bangsa ini menyebut anggota parlemen layaknya anak Taman Kanak-Kanak. Ternyata, cetusan ini terus bergema hingga sekarang.
Orang ramai pun memahami fenomena sepak terjang wakil rakyat, tanpa perlu merujuk pada buku tebal tentang kajian perilaku anggota dewan yang terhormat itu. Kedegilan fraksi Golongan Karya untuk meloloskan dana aspirasi yang fantastik itu menunjukkan ketidakpekaan sebagai penyambung lidah rakyat. Tak jauh beda dengan anak kecil yang meminta permen sambil merajuk dan terkadang ‘mengancam’.
Sedang tema yang diungkap adalah gagasan besar yang terjadi pada masa hidupnya. Gus Dur telah memilih tema dengan meyakinkan, seperti demokrasi, pribumisasi Islam, dan negara kesatuan. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Hannah Arendt, filsuf dan selingkuhan Martin Heidegger, yang memberikan komentar tentang isu politik pada masanya, seperti totalitarinisme, Zionisme, desegregasi, dan lain-lain tanpa ribet memasukkan filsafat murni.
Demikian pula, Syafi’ie Ma’arif, yang masih meluangkan waktu untuk menyoroti carut-marut republik ini dengan bahasa yang lugas di kolom khusus sebuah harian nasional menunjukkan kualitas sebagai cendekiawan publik karena esai rutinnya itu menggunakan bahasa yang bisa dijangkau pembaca koran.
Intelektual Selebritas
Kehadiran televisi makin memberi ruang pada intelektual untuk menjangkau khalayak lebih luas. Oleh karena itu, kehadirannya menyamai selebritas dan mendapatkan liputan layaknya artis. Dengan sendirinya intelektual publik adalah intelektual selebritas, yang harus mampu berbicara pada khalayak dengan bahasa mereka sehari-hari.
Di wilayah inilah, kaum intelektual bisa berwujud siapa saja, dosen, wartawan, budayawan, dan pegiat. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan penerangan isu terbaru melalui pelbagai saluran media. Makin hari nama-nama baru yang mudah dikenal makin banyak.
Akan tetapi, mengingat media arus utama hari ini sebagian telah dijadikan corong segelintir kelompok dengan kepentingannya, maka media sosial yang berlimpah, seperti Facebook, Twitter. dan blog bisa menjadi pilihan untuk memerantarai hubungan nalar antara intelektual dan publik. Media sosial memberi lahan seluas-luasnya untuk para intelektual selebritas dan mereka yang ingin belajar menjadi intelektual.
Dalam Facebook, Prie GS, wartawan Suara Merdeka, berhasil berdialog dengan masyarakat melalui celetukan status yang menggugah nalar publik, termasuk kolom mingguannya di koran tempat pria berkumis lebat ini bekerja.
Demikian pula, dalam ranah per-Twitter-an, Ndoro Kakung disenaraikan sebagai orang yang layak mendapatkan penghargaan. Dengan pengukuran meliputi influence (pengaruh) popularity (popularitas), berapa banyak yang menjadi follower (pengikut) pengguna Twitter; engagement (keterlibatan), seberapa aktif si pengguna berperan serta dalam komunitas Twitter; dan trust (kepercayaan), seberapa besar kepercayaan orang terhadap kandungan (content), maka Ndoro Kakung yang wartawan Tempo itu layak untuk memegang label intelektual publik dalam pengertian yang sempurna.
Lalu bagaimana dengan dunia blog yang turut meramaikan pembahasan isu publik? Sampai saat ini ada beberapa nama yang patut disodorkan sebagai bagian dari intelektual selebritas. Salah satu di antara blogger itu adalah Antyo Rentjoko. Dia berhasil mengemas ide-ide cemerlang dengan bahasa sinikal, namun tak memanjakan cita rasa kasar.
Coba tengok dalam lawan sesawang blogombal.org, bapak dua anak dan satu istri ini menerakan catatan tentang isu publik dengan kelakar, namun menyodok akal sehat pembaca dari segala lapisan. Dalam judul “Benteng di Tengah Kota”, pemilik banyak blog ini, sedang membicarakan ketegangan dan cita rasa sosial sebagaimana tertera dalam teori status sosial dan habitus sosiolog Prancis, Pierre Bordieau, namun dengan bahasa yang lebih renyah, sehingga bisa dikunyah siapa saja. Tak hanya berhenti pada deskripsi etik, pria gundul ini memberikan jalan keluar agar masyarakat tak pengap.
Jadi, jika isu yang beredar di masyarakat disampaikan dengan bahasa keseharian, niscaya keterlibatan khalayak akan makin membesar. Untuk itu, perguruan tinggi yang banyak memproduksi intelektual sepatutnya mendorong civitas academica dan lulusannya tidak lagi terpasung di kampus, berkutat dengan analisis diskursif dan analitikal semata-mata, justru menyeimbangkan dengan tugas darma perguruan tinggi itu yang mencerminkan peran intelektual publik paling nyata. Salah satunya dengan memanfaatkan berbagai media untuk tampil.
Amunisi akademik yang dimiliki oleh dosen dan kepiawaian jurnalistik wartawan sebenarnya merupakan dua kekuatan yang bisa bahu-membahu merontokkan kepongahan kekuasaan, sebab yang terakhir ini kadang-kadang dikangkangi oleh intelektual tukang, atau affiliated intellectual, yang cuma cari makan.n
No comments:
Post a Comment