Wednesday, August 25, 2010

Sengketa Kedaulatan Indonesia-Malaysia


Jawa Pos, 25 Agustus 2010
Hentikan Drama Itu!




Oleh: Ahmad Sahidah

UTUSAN, koran utama Malaysia, menurunkan berita utama dan gambar pelemparan kotoran ke halaman Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta (24/8/10), yang dianggap keterlaluan. Di Twitterland, Khairi Jamaluddin, ketua pemuda UMNO (United Malays National Organisation) akan melayangkan protes ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atas tindakan Lumbung Informasi Rakyat (Lira) yang dianggap menggugat kedaulatan tanah airnya.

Tampak, Malaysia ingin mengimbangi serangan bertubi-tubi dari masyarakat Indonesia dengan memberikan ruang pada media yang sebelumnya cenderung menganggap remeh masalah perselisihan di Pulau Bintan. Pada waktu yang sama, Lira berhasil mencuri perhatian banyak orang, terutama warga Malaysia.

Mari kita berpikir jernih. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa batas perairan itu masih dipersengketakan, sehingga dengan sendirinya dimungkinkan terjadi benturan antara aparat di bawah. Sebab, bagaimanapun, mereka akan mematuhi garis pedoman yang telah ditetapkan atasannya. Namun, perlu diingat bahwa ada kesepakatan di antara kedua belah pihak melalui General Border Committee ke-37 bahwa aturan keterlibatan tentara (the rule of engagement) sebatas mengawal keadaan sehingga bentrokan senjata harus dihindari. Pendek kata, kekerasan tidak dibenarkan sama sekali untuk menyelesaikan perselisihan di lapangan.

Lalu, mengapa banyak orang marah? Itu karena mereka tidak mengerti. Kedua, mereka sedang memainkan pedang bermata dua, menyerang Malaysia dan kelemahan pemerintah, terutama karena SBY dianggap tidak tegas menghadapi tetangganya.

Kompromi

Dalam perselisihan, kompromi adalah jalan keluar yang mungkin dilakukan. Jika Indonesia menganggap Malaysia enggan ke meja ke perundingan, negeri jiran beranggapan bahwa RI tidak mau berkompromi dalam banyak isu, seperti moratorium tenaga kerja wanita (TKW), Ambalat, dan sekarang terkait wilayah perairan Selat Malaka. Padahal, instrumen untuk menyelesaikan ini sudah disepakati oleh kedua belah pihak, seperti tim kementerian luar negeri masing-masing telah berunding mengenai Ambalat. Hingga memasuki tahun keenam, kedua tim ini mengalami jalan buntu untuk menyelesaikan konflik tentang kepemilikan blok yang kaya minyak itu.

Jadi, usul untuk mengajak kedua belah pihak berunding agar perselisihan batas perairan tidak meruyak akan menghadapi masalah yang sama, kebuntuan dan ini sekaligus kegagalan keduanya. Coba lihat moratorium TKW untuk sektor pembantu rumah tangga (PRT), yang bahkan melibatkan orang nomor satu masing-masing, SBY-Najib Tun Razak, tak juga bisa menyelesaikan tuntutan Indonesia agar gaji minimum PRT adalah RM 800, sedangkan Malaysia tidak menyetujui dengan alasan tidak ada skim seperti ini di Malaysia.

Tampaknya, hal serupa terulang. Ketika dulu banyak pekerja Indonesia dipulangkan karena tidak mempunyai dokumen, sehingga pemerintah RI gusar, Malaysia mengambil kebijakan alternatif. Alih-alih menyelesaikan masalah, pada waktu itu Malaysia justru memasukkan pekerja dari negara lain, seperti Pakisan, Bangladesh, dan negara-negara tetangga yang lain karena Indonesia tidak memberikan izin pekerja migran itu kembali ke Malaysia.

Orkesta dan Drama

Tentu, yang paling memuakkan kita adalah orkestra yang dimainkan anggota legislatif yang bersuara keras terhadap masalah sengketa yang membelit kedua negara. Tanpa memberikan informasi yang utuh, drama yang tidak lucu akan terus dipanggungkan. Perlu diingat, anggota parlemen Malaysia tidak menjadikan isu penangkapan nelayan Malaysia oleh petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai masalah besar. Justru, setelah Lira melempar kotoran (di Malaysia disebut najis) ke halaman Kedutaan Besar Malaysia, anggota parlemen dari daerah pemilihan Rembau, Khairi Jamaluddini, mengirimkan protes ke KBRI di Kuala Lumpur.

Lalu, apakah harapan kita kepada pihak berwenang, dalam hal ini Marti Nata Legawa sebagai bos di Kementerian Luar Negeri? Persoalan batas perairan itu harus segera diselesaikan. Dalam wawancara dengan radio SBS Australia (24/8/10), saya menegaskan bahwa sejatinya kita bisa menyelesaikan masalah ini, mengingat elite yang berkepentingan dengan isu kedaulatan sama-sama berlatar belakang Jawa, Purnomo Sugiantoro (Indonesia) dan Ahmad Zahid Hamidi (Malaysia, yang mempunyai darah Jogjakarta). Mungkin yang juga perlu diketahui, beberapa hari setelah insiden Pulau Bintan, Hanifah Aman, menteri luar negeri Malaysia, memenuhi undangan Da'i Bachtiar dalam acara peringatan HUT Ke-65 Kemerdekaan RI di Kuala Lumpur. Betapa dekatnya hubungan emosional itu.

Nah, kalau para elite tampak rukun, untuk apa anggota legislatif suka ribut dan sebagian warga Indonesia bertindak provokatif merusak plak Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said, bahkan yang memuakkan dengan melempar kotoran? Malah Laskar Merah Putih berdemo di depan konsulat Malaysia di Medan seraya mengancam akan melakukan sapu (sweeping) terhadap warga dan mahasiswa Malaysia di Sumatera Utara (Antara, 23/8/10). Jelas, drama pengalihan isu ini makin sempurna. Tampaknya, tak hanya wakil rakyat yang galak, warga biasa pun menunjukkan sikap patriotik.

Sayangnya, polisi tak bertindak tegas. Berbeda dengan ketika kelompok Islam di Solo akan melakukan sweeping, serta merta pihak keamanan menangkap pelaku yang akan merazia warga Amerika. Jadi, mari hentikan drama ini dan menuntut pihak berwenang melakukan tugasnya. Jika tidak, demokrasi kita gagal memilih wakil di Senayan dan pemerintah yang bisa menunaikan kewajibannya dengan baik. (*)

*) Ahmad Sahidah PhD, Fellow Peneliti Pascadoktoral Universitas Sains Malaysia

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...