Rabu, 17 November 2010 │Seputar Indonesia
Ahmad Sahidah PhD Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia
Shalat dua rakat, takbir, dan penyembelihan korban merupakan kegiatan yang identik dengan perayaan Idul Adha. Media cetak dan elektronik akan memuat gambar ribuan orang berjamaah menunaikan sembahyang dan sejumlah orang kaya menyumbang seekor sapi atau lebih ke tempat ibadah. Gambaran ini selalu hadir di hari suci itu. Betapa damai kita melihat ribuan orang mengagungkan Tuhan dalam suasana syahdu dan khusyu’. Betapa tersentuh kita melihat begitu banyak orang bermurah hati, peduli pada si miskin. Selang beberapa waktu kemudian, penganutnya terperangkap dalam rutinitas, seakan-akan gairah religiositas dan sikap filantrofis itu hilang tak berbekas.
Jika umat Muslim bisa meluangkan waktu berjamaah dan kaum kaya tak keberatan menyisihkan uangnya untuk berderma, maka di luar hari raya itu, sepatutnyan mereka juga bisa melakukan hal yang sama. Namun, boleh dikatakan setelah itu, masjid dan surau dibekap sepi, dan orang-orang miskin mengais rezeki dalam kesusahan tak terperi dan penganggur menanggung beban berhari-hari. Tak ayal, tebersit dalam benak bahwa kebiasaan perayaan itu seakan-akan untuk menebus kealpaan beribadah dan keteledoran mengabaikan nasib yang teraniaya selama setahun.
Padahal, jika suasana kebersamaan itu merembesi dalam keseharian, betapa hidup bisa tertanggungkan. Bukankah, komunitas yang bertetangga itu perlu ruang untuk saling menyapa dalam suasana damai dan tentram. Dengan meluangkan waktu berjamaah di lingkungan tempat kita tinggal, tentu keadaan semacam ini menjadi ruang bertegursapa dengan jiran. Sayangnya, kebanyakan mereka tak hirau. Kalaupun alasannya tak ada waktu karena kesibukan, namun di hari Minggu atau libur tempat ibadah itu pun masih lengang. Di tengah banyak peternak atau petani membutuhkan sapi untuk dipelihara, orang-orang berduit itu seakan-akan tak melihat, padahal jika sedikit uangnya dibelikan seekor sapi tak akan membuatnya bangkrut. Lalu, kemanakah mereka?
Menyemai Semangat
Dalam wacana antropologi, berkorban (sacrifice) berkait keadaan pelaku sebagai pembawa polusi, dosa atau kesalahan dan persembahan itu dianggap sarana untuk membersihkan tubuh seseorang atau sosial dari noda moral ini (Veena Das, 1983). Dalam Islam, subjek itu adalah orang kaya yang dermawan dan murah hati. Dengan kemurahan hati inilah, mereka juga turut menyucikan batin dari sifat-sifat tercela. Dengan memberi sebagian hartanya, hakikatnya mereka telah merasa cukup dan perasaan inilah yang membuat manusia bersyukur, salah satu kunci kebahagiaan.
Masalahnya, apakah keutamaan bersembahyang jamaah, seperti shalat Id, dan berderma hanya dilakukan pada hari raya Kurban? Jawabannya jelas tidak, justeru kehendak mewujudkan ‘suasana’ hari raya Kurban di hari-hari yang lain merupakan keberhasilan memaknai kategori imperaktif dari sebuah kewajiban. Hari raya itu adalah momentum untuk merayakan keutamaan berjamaah dan memeriksa kembali apakah solidaritas Muslim terjalan berjalan dengan baik. Hari raya Id adalah puncak dari berkumpulnya komunitas-komunitas dalam ruang yang lebih besar, selanjutnya masyarakat memelihara kebersamaan dalam lingkungan yang lebih kecil, di tingkat Rukun Tetangga misalnya. Demikian pula, kedermawanan yang dirayakan di ruang terbuka pada hari raya sebagai wujud dari kepedulian yang dipupuk sepanjang tahun. Nabi tidak meminta umatnya untuk peduli pada kaum terpinggir itu hanya setahun sekali.
Dengan tingkat mobilitas yang tinggi, sepatutnya mereka yang berpunya tak perlu merasakan kesulitan untuk menafkahkan rezekinya melalui lembaga yang mengembangkan amal itu menjadi modal produktivitas. Hampir semua lembaga tersebut telah menyediakan fasilitas on line untuk beramal. Kalaupun mereka ingin melihat amal itu berbuah, mereka bisa datang untuk menengok kelompok-kelompok binaan sehingga terjalin silaturahmi yang erat. Diharapkan dengan sikap seperti ini akan mendorong pemerataan. Seperti ditegaskan Paul Wachtel (1989) bahwa timbulnya bermacam-macam penyakit sosial karena arah pembangunan yang selalu menekankan pada pertumbuhan (growth), bukan pendistribusian hasil pembangunan dengan merata dan adil. Melalui semangat berkorban, ikhtiar meneteskan rezeki ke bawah itu akan terwujud.
Teladan
Jika banyak orang yang bisa berkorban sapi pada hari raya itu, mengapa kedermawanan itu juga tidak dilakukan di luar hari yang telah ditentukan wakatunya dan juga lebih produktif? Padahal jika hal yang sama dilakukan melalui program penyertaan dalam program desa binaan ternak sapi, kegiatan ini akan mendongrak sektor ekonomi yang lain. Apalagi seperti telah diketahui umum untuk memenuhi kebutuhan sapi korban, Indonesia harus mengimpor binatang pemamah biak ini dari Australia dan negara lain, yang tentu saja menghabiskan devisa negara.
Tentu, pelibatan mereka yang berduit untuk berinvestasi dalam ternak akan menggairahkan ekonomi pedesaan. Jauh dari itu, ikhtiar semacam ini menjadi jembatan menumbuhkan hubungan masyarakat yang saling memercayai, sebagai bagian penting dari modal sosial. Memang sebelumnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal) telah melibatkan warga pedesaan untuk beternak sapi, namun sayangnya sebagian mereka menjual hewan tersebut untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Namun, hal ini tidak mencegah perorangan yang berduit untuk memulai usaha yang sama dengan mempekerjakan kaum profesional, termasuk lulusan perguruan tinggi yang berlatang belakang peternakan dan manejemen.
Keberhasilan Lembaga Amil Zakat Yaumil, LNG Bontang Kalimatan Timur dalam mewujudkan desa binaan dalam peternakan sapi patut diberi perhatian. Tidak saja pendataan kaum miskin yang meliputi pekerjaan, status, surau terdekat tercatat rapi dan bisa diakses publik melalui laman sesawang mereka, tetapi juga perkembangan, evaluasi dan yang jauh lebih penting hasil audit juga diterakan. Pertanggjungjawaban dan keterbukaan semacam ini akan menjadikan lembaga tersebut bisa diperhatikan orang ramai dan sekaligus mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok lain untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak lembaga yang serupa, semakin banyak orang bekerja dan meraup berkah dari semangat berkorban ini. Kalau hanya meluang waktu berjamaah dan berderma pada hari raya, mungkin itu belum cukup untuk disebut berkorban.
Oleh karena itu, pemisahan kata hari raya dan makna kurban dalam judul di atas sebenarnya ingin menegaskan betapa perayaan itu kadang melupakan makna kurban yang sesungguhnya. Hari besar ini hanya mengisi liburan sehari. Media massa pun berlomba-lomba untuk mengulang berita yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya berbeda waktu. Padahal, pengorbanan ini menyimpan makna yang jauh lebih kaya dari sekedar bersembahyang dan membagikan daging korban. Kebersamaan pada salat id adalah kehendak bersama untuk hidup rukun dan penyembelihan hewan itu adalah simbol pengorbanan untuk menolong orang lain agar tak berkubang dalam kemiskinan. Jika semangat ini bisa diraih, maka kita bisa memperoleh makna kurban hari raya, tanpa dipisah oleh kata dan. Semoga!
No comments:
Post a Comment