Tuesday, December 28, 2010

Candi Muara Takus

Dari bayangan candi itu, Anda bisa menebak matahari terik, menerkam bumi. Namun, karena saya beradu dengan waktu, tak hirau dengan sengit sinar mentari. Sambil naik turun candi, saya mencoba mengerti mengapa ada simbol itu. Candi Muara Takus, kata Zulkifili, pemandu candi, dibangun pada abad ke-11. Lalu saya bercanda pada rombongan, saya tak pasti siapakah gerangan nama nenek moyang saya pada waktu itu?

Tak banyak yang berkunjung pada waktu itu. Hanya rombongan dari Malaysia dan sebuah keluarga Tionghoa lokal, Kotan Pekanbaru, yang salah satunya adalah anak kecil bernama Gilbert. Alamak, Inggeris banget! Mereka ramah dan sebagian bisa berbahasa Hokkien. Ibu si kecil bercerita bahwa banyak turis yang datang dari banyak negara pada waktu perayaan, seperti Singapura, Taiwan, dan Thailand. Namun, mengapa fasilitas kamar mandi hanya dua dan airnya mengalir malas?

Demikia pula, warung kaos bergambar Muara Takus dan minuman dibuat seadanya. Sepatutnya pihak terkait membangun warung yang terintegrasi dengan aura candi. Sambil minum, pengunjung bisa menikmati visualisasi dan cerita candi tanpa harus menahan terik. Celakanya lagi bendera rokok yang dipacak di sepanjang jalan depan Candi hanya mencacatkan pemandangan. Seharusnya warisan itu bisa berdiri lebih gagah dibandingkan keadaannya sekarang. Apa mau dikata, tampaknya pemerintah lokal abai dan penggiat wisata tak menangkap peluang.

No comments:

Layangan

Kemarin, Zumi bilang, ia lupa mengucapkan hari ayah. Tetapi, dulu ia pernah menuliskan pesan dengan bantuan kakak.  Apa yang membuat ayah da...