Tak jarang, penggunaan bahasa Melayu dipinggirkan karena susunannya yang tak ringkas. Belum lagi, ikhtiar bahasa Indonesia dan Malaysia untuk kekal teperbaharui menyebabkan keduanya mengambil jalan mudah menyerap begitu saja atau membiarkan susunan aslinya. Kata 'fashion', misalnya, masih ditulis apa adanya dengan huruf miring 'fashion' dalam pelbagai karangan atau berita atau diserap dengan mengambil bunyi kata bersangkutan, fesyen. Sekali waktu, kita masih mendengar tata busana untuk menggantikannya.
Kehadiran sistem pesanan ringkas (short message system) dalam telepon genggam dan media sosial, seperti facebook dan twitter, telah mendorong orang ramai untuk lebih memilih bahasa Inggeris karena keringkasannya. Bayangkan, hanya untuk menyebut locker, kita perlu mengungkapkan tiga kosa kata dalam tiga tarikan napas. Lalu, mengapa bahasa Malaysia tidak menjadikan locker sebagai loker, sebagaimanna message berubah mesej? Bagaimanapun struktur kata dasar yang diakhiri dengan er dalam bahasa Inggeris menyulitkan kita untuk bersikap tegas. Sekali waktu, kita menerimanya, tetapi kita pun bisa mengandaikan struktur sendiri, yakni pe ditambah kata dasar. Tampaknya, kedua bahasa ini akan terus diuji dengan khazanah milik sendiri, meskipun orang ramai pun bisa menggugat, mengapa harus Sanskrit sebagai ukuran?
Lalu, mengapa kita tidak beranjak pada semantik? Makna itu jauh lebih penting daripada sibuk dengan urusan remeh-temeh terkait susunan bentukan kata. Kalau ahli bahasa dan orang ramai memperakui bentuk kata tertentu, bukankah tugas kita adalah bergulat dengan usaha menyepakati makna yang mungkin tersedia secara tersirat? Perlukah, kita menyoal locker, sementara para mahasiswa dan guru mereka bisa memanfaatkan tempat penyimpanan barang tanpa kebingungan dengan asal-muasal? Ehm, saya pun menghela napas, adakah cetusan ini sia-sia?
No comments:
Post a Comment