Friday, December 09, 2011

Kocor dan Masa Kecil

Untuk ketiga kalinya, saya mengambil kudapan kocor, kue berwarna coklat yang dibuat dari adonan tepung dan campuran gula Jawa atau Melaka. Pertama kali,ketika menemukannya di kantin kampus di bulan November, saya ingin melonjak karena kegirangan. Kalau tidak dilakukan, tidak berarti saya tak merasa gembira, namun tak elok berteriak di tengah orang ramai yang sedang menikmati makan. Ditemani surat kabar, saya menggigit kocor dengan nikmat.

Mengapa kocor begitu nikmat dan istimewa? Karena ia menyeret saya ke masa lalu, masa kecil di kampung halaman. Ia tak bisa dibandingkan dengan burger McDonald, karena yang terakhir ini dulu tak pernah hadir di lidah. Lagipula, kocor hanya hadir pada waktu tertentu, tidak setiap hari. Sekali waktu, ibu membawanya dari kenduri perkawinan tetangga. Di lain waktu, kami menikmatinya di perayaan Maulid Nabi. Lalu, perlukan saya menyebut bahwa kesukaan ini adalah nostalgia yang perlu dirayakan? Tak sama dengan panganan dari luar, kocor adalah wujud dari falsafah lokal, oleh karena itu ia harus diselitkan dalam bungkusan kue-muih sebagai bawaan pulang dari kenduri kawin.

Tapi, pernahkan kita mau menjadikannya setara dengan burger? Misalnya, ia disajikan di Mal yang berdinding kaca dengan gerai berjenama Kedai Tradisi. Apakah penolakan terhadap barang luar mencerminkan kecintaan pada milik sendiri ketika batas-batas keduanya luruh? Namun, saya yakin, kenyataan ini bisa diurai. Diam-diam, kita tak percaya diri bahwa milik kita sejajar dengan kegagahan makanan 'asing' dengan menyergah, sudah bukan masanya lagi kita berbicara batas. Sememangnya, siapakah yang mempunyai kuasa untuk menyatakan itu lebih baik dan sesuai denga kita?

Hanya pada saya, kocor itu jauh lebih menendang daripada burger di lidah. Terus terang, ketika saya menikmati burger di McDonald, saya senantiasa terbayang bacaan Fast Food Nation (Eric Schlosser, 2011) yang menyebutnya sebagai makanan sampah. Sementara kocor mengantarkan pada kenyamanan, karena ia adalah keriangan semata-mata. Selera itu tak lagi subjektif, tetapi memiliki cerita, yang kata Pierre Bordieau, sosiolog Perancis, habitus.

4 comments:

M. Faizi said...

Dapat dari mana kocor itu?
Seperti sekarang ini, di daerah Bulangan, Pakong, ada orang yang secara khusus menjual "kocor durian". Rasanya fantastis, tidak akan hilang sampai Anda makan dan minum makanan lain berkali-kali :-)

Ahmad Sahidah said...

Pak Kiai Faizi, terima kasih atas informasinya. Sangat bermanfaat. Semoga nanti kami bisa berkunjung ke Bulangan.

M. Faizi said...

Mari undang Pemulung Sampah Gaul ke Paiton. Saya akan bawa mereka ke sana. Mungkin panitia cukup berbagi dua soal bahan bakar dengan saya, saya yang akan tanggung mereka ke sana. Gimana?

Kita bikin workshop soal pemberdayaan pangan lokal, termasuk kcocor tentunya

Ahmad Sahidah said...

Ya, Mas Kiai. Kami peduli, tetapi perlu menimbang posisi, karena lingkungan terkait dengan banyak pihak. Apa pun, teladan Njenengan menyinari kami.

Bank Syariah

Di Perbankan Syariah, saya mengajar Filsafat Keuangan. Dalam mata kuliah ini duit dicandra dari nilai, etika, dan kuasa. Cuan bukan sekadar ...