Tuesday, November 23, 2021

Sekolah Kebangsaan


 Kemarin, saya bertemu dengan banyak orang di acara Sekolah Kebangsaan Universitas Nurul Jadid. Paman Faridl Rusydie memungkinkan saya mendengar pengetahuan, pengalaman, dan pandangan dari banyak pegiat, tak melulu soal demokrasi. Isu ini telah selesai.

Cak Kudus, Lakspedam dan dosen UINSA, menyuguhkan banyak cerita bahwa di balik keberhasilan pemilu elektoral dalam melahirkan pemimpin, ada minoritas kreatif yang bekerja untuk memasok gagasan. Tetapi, ada juga petinggi yang begajulan, yang enggan menerima ide berna.s. Hehe
Ada hal-hal sederhana yang perlu diangkat, semisal adakah nilai-nilai demos kratos itu nyata hadir? Apakah lembaga pendidikan telah menjadi ruang yang seluas-luasnya bagi penyemaian dasar-dasar etis dari gagasan besar dari Yunani itu?
Apa pun, saya merasakan bahwa kerendahan hati dari Mas Ulil Abshor menyinari Wisma Dosen tempat acara digelar. Tabik.

Wednesday, November 17, 2021

Kocor atau Cucur Jawa


 Karena saya percaya sains, kemarin saya berobat ke klinik Azzainiyyah. Apakah doktor hanya bertanya soal sakit? Tidak. Kami mengobrol ke sana ke mari. Hidup itu bukan melulu sains medis, tetapi juga "dongeng".

Tetiba, kemarin saya mendapat wangsit berisi kocor adalah penyembuh tambahan. Aha! Hari ini cucur Jawa, sebutan jiran untuk kudapan ini, ada di meja. Terima kasih pada nenek moyang kami yang baik telah membuat makanan ini. Eh, jangan-jangan berasal dari Tiongkok?

Wangsit itu mitos. Saya juga mempercayainya. Selain banyak pikiran, saya juga mempunyai banyak kepercayaan. Eh, jangan-jangan isteri saya juga mendapat ilham dari langit? Kok ia tahu saya mendapat "bisikan" dari atas? Misteri.  

Tuesday, November 16, 2021

Misteri Agama

Buah karangan ini merupakan kumpulan esai Louis Dupré yang berusaha untuk menjelaskan persoalan perenial agama dalam kajian filsafat, teologi atau secara bebas bergerak di antara keduanya. Karya ini dibagi ke dalam tiga bagian, yang pertama tentang pemahaman terhadap hakikat kebenaran dengan berbagai pendekatan, yang biasanya tidak terlepas dari pendekatan koherensi dan korespondensinya, namun demikian buku ini juga menampilkan cara lain untuk merespons persoalan kebenaran, yaitu penyingkapan. Di sinilah, peran Martin Heidegger dan Gabriel Marcel nampak dalam menegaskan teori ini, di mana ilmu pengetahuan positif tidak diterapkan untuk mencapai kebenaran ini. Para teolog merasa terpanggil untuk mengembalikan konsep kebenaran pada tempatnya.
Bagian kedua membahas simbolisasi agama, dengan mengacu pada pemikiran Balthasar tentang nilai estetik agama. Di sisi lain tindakan religius tidak akan ada tanpa ekspresi-ekspresi simbolik itu. Ide agama sebagai sebuah perasaan batin murni, terlepas dari ekspresi simboliknya, pertama kali diajukan oleh Schleiermacher muda, yang kemudian menganggapnya sebagai sebuah ilusi romantik. Tetapi ide yang sama yang dihidupkan kembali oleh sejumlah rekan sezamannya yang tidak lagi menemukan sebuah makna transenden di dalam simbol dan lembaga keagamaan. Hal ini bisa dipahami karena simbol-simbol dan lembaga keagamaan telah menjadi otoritas sekelompok elit agamawan, bukan menjadi milik pemeluknya. Kenyataan ini tak terelakkan akan melahirkan “wewenang mutlak” yang akan mengukuhkan satu kelompok dalam praktik keagamaan dan yang lain sebagai pengikut fanatik atau bahkan pragmatis.
Kajian fenomenologi agama menentang sebuah abstraksi semacam ini: ia menganggap maksud batin tidak bisa dikaitkan dengan ungkapan lahirnya. Para fenomenolog menganggap ekspresi eksternal seperti doa dan pengorbanan sebagai aktivitas komunal yang sangat penting bagi tindakan religius. Karena tindakan menuju pada yang transenden (dan oleh karena itu tidak bisa diekspresikan secara langsung) maka, ia mensyaratkan sebuah representasi simbolik untuk ada secara konkret. Agama menahbiskan objek-objek di dalam ruang dan waktu, untuk melampaui tatanan spasial dan temporal itu sendiri. Fenomenologi menggambarkan simbol-simbolnya dari seluruh bentangan yang terbatas: objek-objek mati, tanaman, binatang, dan manusia. Keragaman representasi ini menunjukkan bagaimana semua bentuk yang terbatas tidak cukup memadai untuk merepresentasikan sebuah realitas transenden. Jadi objek-objek itu merupakan instrumen bukan tujuan, sehingga perlu dibedakan secara tegas untuk tidak terjebak pada pemutlakan dan kultus yang menghilangkan sifat Tuhan yang mengatasi semua-benda dan penamaan.
Untuk mengimbangi ketidaktepatan ini, simbolisasi religius memerlukan bantuan kata, simbol yang paling luwes dan sesuatu yang paling tidak dibatasi pada sebuah arah maksud tunggal. Hanya kata yang mampu menghubungkan maksud religius dengan ekspresi. Semakin agama dimurnikan secara lebih spiritual, maka semakin lebih sentral fungsi yang akan diwujudkan kata di dalam sistem simboliknya. Untuk menjelaskan hakikat khusus dari sebuah iman religius, fenomenologi harus menyelidiki kreativitas simbol dari subjek manusia di dalam kekhususannya tanpa kehilangan pandangan tentang pasivitas esensial yang dialami subjek pada jantung tindakan ekspresif yang sebenarnya. Kecuali dia menegaskan bahwa orang beriman yang religius menganggap simbol-simbolnya sebagaimana di dalam beberapa hal “diwahyukan,” para fenomenolog akan kehilangan apa yang dianggap orang beriman religius sebagai yang esensial di dalam iman.
Dan bagian terakhir mengupas persoalan pengalaman agama, dengan mengacu pada refleksi filosofis terhadap teologinya Edward Schillebeeckx dan kehidupan spiritual di era sekuler, makin mengukuhkan bahwa agama tidak hanya berkaitan dengan pemikiran tetapi pengalaman (tindakan). Di sini, Schillebeeckx mengajukan pertanyaan bagaimana seorang tokoh historis, yang hidup dalam sebuah kebudayaan pedalaman, memulai sebuah pengalaman universal dan bahkan pada suatu waktu menghilangkan pengalaman yang sepenuhnya dijauhkan dari kebudayaan religus di mana pesan itu disampaikan? Meskipun pertanyaan ini diarahkan pada peran Yesus, namun masih aplikatif bagi tokoh-tokoh lain yang menyatakan pembawa pesan kenabian dan kebenaran.
Menurut saya, penulis esai ini mencoba untuk menghadirkan respons berbagai tradisi, tidak hanya agama Kristen, tetapi juga Islam dan agama lain [meskipun tidak dominan] mengenai tiga persoalan penting dalam agama, yaitu metode, simbolisasi dan pengalaman, demikian juga para filsuf dari abad klasik, tengah, moderen bahkan kontemporer. Usaha semacam ini akan mengembangkan dan mengkayakan perspektif dalam melihat persoalan tunggal. Kajian interdisipliner menjadi mungkin jika dilakukan dengan asumsi bahwa cara pandang merupakan bagian aktualisasi seseorang dalam menghadapi persoalan kehidupannya yang berkaitan, paling tidak, dengan kekuasaan [Michel Foucault], kepentingan [Jürgen Habermas] dan eksistensi [Karl Mannheim].

Saturday, November 13, 2021

Pantai dan Laut

 

Setelah membayar Rp 15 ribu untuk tiket tiga orang, kami bermain di pantai. Pantai Duta ini dikelola oleh Badan Usaha Menengah Desa (BUMDES). Zumi menyukai air laut yang menyentuh tapak kaki. Biyya mengambil sampah plastik dan memasukkan ke tas, lalu meletakkan di tong.
Laut menyimpan banyak cerita. Bagi orang tua, ia tempat bermain yang mengilhamkan dan mengerikan. Ayah saya sendiri berharap kami tidak bekerja di lautan, karena ia pernah tenggelam tatkala bekerja sebagai awak kapal. Untung, kakek Zumi ini selamat di hari kelima tatkala ada kapal lain yang menolongnya.

Setidaknya, keduanya bisa belajar dari Thales yang mengatakan bahwa asal mula kehidupan itu dari "segara". Kini, pandangan filsuf itu terdengar kelakar! Jangan-jangan, pandangan kita hari ini pada tahun 3000 juga terdengar sebagai lelucon. Kahkahkah

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...