Di kampung, saya dulu sering menemukan sesaji yang diletakkan di pinggir sumur. Kini, tak ada lagi, sebab pompa air telah menyebabkan penutupan. Seikat padi dll digantung di kerangka atap rumah yang baru dibangun. Kebiasaan ini juga hilang. Bahkan, tradisi Samman dan Ruddat pun tak lagi dilakukan okeh generasi muda.
Sekarang, mereka selalu hadir di media sosial. Kegiatan dilakukan untuk memenuhi konten dan status. Zaman telah berubah. Bahkan, selawat Al-Khushary yang pernah dibacakan oleh Paman Muzanni menjelang magrib telah diganti suara mesin.
Ada pergeseran prilaku yang lebih besar dari sekadar soal kepercayaan, kearifan lokal, dan kemajemukan. Mereka yang berbeda sama-sama tunduk pada aturan dunia maya, saya ada dengan mengada-ada. Adaan tetap membawa "pikiran" lama. Benda, apa pun, diberikan arti, lalu pengusungnya merasa sejati. Lagi-lagi, siapa pun yang mencoba menegakkan jati diri mau mencari simpati. Apa mungkin keaslian? Masalahnya setiap individu menggendong banyak identitas, yang satu sama lain bisa menyatu dan berjarak. Kita memungutnya sesuai kepentingan.
Kini, anak-anak tidak melalui dunia yang sama. Keduanya besar dengan film kartun dan Youtube. Imajinasi tentang kenyataan berasal dari dunia luar juga. Di masa depan, kakak adik tentu akan bercerita tentang masa kecilnya yang tak sama dengan si ayah.
No comments:
Post a Comment