Wednesday, August 09, 2023

Menemukan Indonesia di Wakatobi

Judul di atas diambil dari pernyataan Agil Fahim Ali, salah seorang mahasiswa yang menulis buku ini dan Haliana SE, Bupati Wakatobi. Karya ini lahir dari catatan 19 mahasiswa Universitas Nurul Jadid yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata yang tempatnya jauh dari mereka berkuliah. Beruntung saya bisa mengikuti peluncuran di wisma dosen kampus yang dihadiri oleh dua orang di atas pada 4 Maret 2023.

 

Haliana sebagai warga setempat dan pejabat publik membingkai karya ini sebagai bagian dari wajah yang mungkin belum banyak melirik dibandingkan Labuan Bajo, yang didesain untuk menjadi destinasi wisata premium. Padahal, kawasan Wakatobi merupakan lokasi favorit menyelam (diving) terbaik dunia, kata penyelam Prancis Jacques Cousteau. Batu karang itu terbentuk indah karena gelombang laut  yang menghidupinya. Tak ada ombak, tidak ada keindahan. Hanya kita harus tahu kapan menyelam dan bila melihat dari tepian.

Dengan pelbagai latar belakang yang berbeda, tentu setiap mahasiswa akan memotret pengalaman di daerah baru dengan cara yang berbeda. Mereka berada dari banyak program studi, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, Ilmu Alqur’an dan Tafsir, Teknik Elektro, Teknik Informatika, Manajemen Pendidikan Islam, dan Perbankan Syariah. Selain itu, latar belakang daerah, dari Sulawesi Utara dan daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, menebalkan semangat kebedaan dalam kesatuan.

Melalui gaya bercerita, kumpulan tulisan ini membayangkan pendekatan etnografis, tempat penulis mencurahkan pikirannya begitu emosional dan apa adanya. Keadaan ini berkelindan dengan pengalaman mereka menafsirkan perjalanan dengan kepolosan, semisal salah seorang hendak pulang karena perahu yang ditumpangi dari Baubau ke lokasi dilambung ombak hingga mengeluarkan isi perut. Tetapi, ia telah memutus tali kapal dari pelabuhan, KKN Nusantara harus ditunaikan untuk cita-cita bersama, mengikat silaturahmi sejati.

Setiap mahasiswa membubuh judul masing-masing untuk renungannya selama mengikuti kegiatan ini, sehingga tajuk itu seakan-akan membingkai apa yang hendak dikisahkan. Lalu, subjudul mempersempit ruang gerak penceritaan sebagai peristiwa yang begitu menggugah, tulisan pertama bermual dari “Titik Nol Pengabdian”. Pemilihan diksi ini bukan kata-kata kosong, tetapi jiwa yang dibawa dari pondok tempat mahasiswa belajar bahwa pengabdian lahir dari sebuah hasrat yang tidak dibelenggu oleh imbalan dan dihiasi oleh ketulusan.

Penegasan Abdul Hamid Wahid selaku rektor UNUJA dalam acara MoU dengan pemerintah daerah Wakatobi meneguhkan semangat di atas. Kepercayaan mahasiswa akan ditempa oleh keyakinan yang telah diserap selama belajar dan dari sini kemanfaatan untuk khalayak adalah wujud dari akidah yang dipahami secara praktis. Tentu, penegasan Haliana sebagai orang nomor satu tentang pembangunan daerah ditopang oleh kegiatan KKN merupakan kerja sama strategis antara dua pihak dalam menimbang kemajuan secara utuh. Apalagi, Indeks Pembangunan Manusia dilengkapi dengan IKS (Indeks Kesejahteraan Sosial) sebagai inisiatif lokal bahwa pengembangan masyarakat menimbang kegunaan pembangunan bagi pemerataan.

Selanjutnya, pembaca seperti tersihir untuk menekuri setiap kalimat karena ia lahir dari penghayatan yang seluruh dan jujur. Misalnya, Agil menggambarkan suasana dengan hidup di kapal dan melukiskan cinta pada pandangan pertama pada Asila, teman satu kelompok. Namun, ini bukan sekadar ungkapan klise, tetapi si lelaki mengungkapkan bahwa perempuanlah yang harus menyatakan perasaannya pertama kali. Pembalikan ini sekan-akan melawan stigma bahwa perempuan harus menunggu dan lelaki bertindak lebih dahulu.

Tetapi, kisah di atas bukan romantisasi terhadap pertemuan antara orang yang berbeda jenis kelamin, tetapi  ada pesan lain, bahwa perjalanan ini hendak menunaikan tugas yang jauh lebih mulia, yakni menyatukan warga negeri ini dalam satu napas, kenusantaraan. Untuk itu, beberapa foto yang disertakan dalam halaman-halaman semakin meneguhkan kehendak murni tersebut. Mereka tidak hanya hadir dalam acara Maulid, tetapi juga perayaan hari Kemerdekaan bersama warga. Di sini, batas-batas negara dan agama tidak dilihat secara diamentral dan dangkal, tetapi saling melengkapi dan sejati.

Ketika banyak mahasiswa liburan Iduladha, mereka sedang menunggu kapal ferry untuk membawa rombongan dari Baubau ke Tomia. Di malam hari rayat tatkala banyak keluarga merayakan kebersamaan, mereka memilih untuk menjalankan amanah sebagai mahasiswa yang hendak mempraktikkan ilmu yang diperoleh di menara gading di kehidupan nyata. Tak hanya itu, musim hujan membuat langit gelap dan gemuruh ombak menghantam badan kapal. Selaksa doa dipanjatkan agar keselamatar diberikan. Dalam suasana ini, kesadaran spiritual seseroang diuji. Hidup dan mati itu dua pilihan yang tidak bisa dingkari.

Betapapun Wakatobi menyuguhkan pemandangan laut yang indah, dimana pengunjung bisa berswafoto untuk mengabadikannya, namun ada pengalaman lain yang jauh lebih hangat, yakni keramahan penduduknya. Mereka diterima tuan rumah, yang merupakan pendudukan setempat. Lebih jauh, mereka juga akan belajar berempati dengan banyak hal, termasuk makanan lokal, dari Kasuami dan Kuho-kuho. Dari sini, betapa kebhinekaan itu nyata dan kekayaan yang acapkali tidak dikenal oleh rakyat Indonesia lain, karena burger, pizza, dan susi telah memesona warga sebagai selera yang layak dirayakan.

Rujukan: Menemukan Indonesia di Wakatobi

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...