Kata pada judul di atas menjadi buruan banyak orang. Dengan merasakannya, seseorang bisa menemukan kesenangan dan kebahagiaan. Salah satu tokoh filsafat yang menjadikan kesenangan sensual adalah Epicurus. Bahkan, lebih jauh, kenikmatan itu dikaitkan sesuatu yang baik. Untuk itu, filsuf tersebut pernah berujar bahwa saya tidak tahu bagaimana saya bisa membayangkan yang baik, jika saya menarik kenikmatan rasa, cinta, pendengaran, dan emosi menyenangkan yang ditimbulkan pada penglihatan dengan bentuk yang indah.
Lalu, adakah kenikmatan itu obyektif? Menurut Jeremy Bentham,
semua kesenangan adalah sama baik dalam diri mereka sendiri. Segala sesuatu
yang lain dianggap sama, bermain video gim sederhana sama baiknya dengan
mendengarkan Beethoven. Sekilas, pandangan tokoh utilitarian tersebut masuk
akal. Betapa Zumi, anak saya, begitu asyik bermain gim bola di telepon genggam.
Saya pun merasa nyaman tatkala mendengar lagu Für Elise oleh Beethoven.
Namun, John Stuart Mill dalam Utilitarianism mengungkapkan bahwa secara kualitatif ada kenikmatan
yang lebih baik daripada yang lain. Perbedaan-perbedaan itu bisa
dikuantifikasi, seperti intensitas, seberapa kuat kesenangan itu dirasakan. Selain itu durasi juga perlu ditimbang,
seberapa lama ia berlangsung, dan jarak waktu, yang akan menjadikan sebuah
kesenangan berakibat pada keadaan seseorang dalam jangka masa tertentu.
Mengapa Für Elise menyenangkan?
Mungkin pada awalnya, saya hanya ikut-ikutan untuk mendengarnya tatkala belajar
di universitas. Genre musik ini sering dikaitkan dengan selera berkesenian yang
tinggi. Para penggubahnya dianggap sebagai sosok jenius. Tetapi, sekilas ada
pendaran ingatan yang hinggap, bahwa saya sangat menikmatinya di sebuah
restoran hotel seusai mengikuti undangan seminar gratis. Sambil makan siang
dengan banyak menu pilihan, bunyi piano itu memberi latar pada suasana yang
sangat menyelerakan.
Ini tak jauh berbeda dengan selawat al-Khushary, qari’ Mesir,
yang sering diperdengarkan melalui pelantang masjid sebelum magrib. Dulu, RRI 1
Sumenep akan memperdengarkan pujian tersebut dan takmir masjid kampung memancarluaskan
menjelang magrib. Di bulan puasa, bacaan ini menandakan waktu menjelang berbuka
puasa. Setiap kali mendengar lantunan tersebut, saya disergap oleh kedamaian.
Betapa kesenangan musikal itu dilatari oleh pengalaman
kenikmatan dalam menyantap makan. Suasana makan siang dan berbuka dulu tetap
tertanam kuat, sehingga di hari ini saya akan merasakan kesentosaan tatkala
mendengar musik dan selawatan. Ajaibnya, kenikmatan ini kadang datang tanpa
disangka-sangka. Dulu, setelah antri lama memasuki kapal ferry di Tanjung Perak
Surabaya menjelang lebaran, saya masih duduk di bus tatkala badan kendaraan
telah memasuki kapal. Tiba-tiba, lagu Syahdu
Rhoma mengalun dari pelantang TOA kecil. Rasa penat raib.
Kenikmatan sensual dan artistik tentu berlangsung pada ruang
dan waktu tertentu. Sebungkus nasi yang tersedia di kala lapar akan sangat
menaikkan selera. Musik klasik dan dangdut terdengar indah jika keadaan tubuh
sehat dan pikiran tenang. Pendek kata, semua kenikmatan itu direspons oleh
seseorang dalam keadaan khusus, yang satu sama lain berbeda. Habitus atau
kebiasaan menjadi salah satu faktor yang penting dalam membentuk selera
seseorang.
Namun, Emrys Westacoot, dalam The Wisdom of Frugality (2016) menegaskan bahwa beberapa variasi
dalam kenikmatan kita, dalam apa yang kita makan, dengarkan, tonton, baca,
kunjungi, dan lakukan, membuat kita tetap dari menjadi bosan karena
diulang-ulang. Di sini, kita bisa menimbang saran Ferdinand Pessoa dalam The Book of Disquiet, bahwa kejemuan
muncul bukan karena tak ada yang dilakukan. Banyak yang dikerjakan, tetapi tak
punya makna. Jadi, semakin banyak yang dilakukan, makin besar rasa bosan. Kita
pun sama-sama mafhum bahwa makna akan diraih secara utuh melalui dialektika
pengalaman dan pengetahuan.
Sumber: Koran Kabar Madura, 19 September 2023 (Baca di sini: Kenikmatan)
No comments:
Post a Comment