What provokes this erosion of reality is
our increased awareness of the media’s ability to edit our world, to show us
what someone else wants us to see instead of what’s actually there, tulis David
R Castillo dan William Egginton dalam Medialogies: Reading Reality in the
Age of the Inflationary Media (2017: 9). Kutipan singkat ini seakan-akan
menempelak kita yang meyakini bahwa kebebasan media akan mengungkap realitas
secara utuh. Padahal media telah menyunting dunita kita, sehingga fakta itu
adalah sesuatu yang ingin dilihat oleh orang lain, bukan apa yang sebenarnya
terjadi.
Belum lagi, kegandrungan warga internet
untuk berselancar di dunia maya yang terdedah pada banyak pandangan justru tidak
dengan sendirinya melihat kenyataan secara utuh dan mendalam. Di sini, warga
terperangkap pada filter bubble atau "gelembung filter",
sebuah istilah yang diciptakan oleh Eli Pariser pada tahun 2011 untuk
menggambarkan fenomena di mana algoritma dalam platform media sosial dan mesin
pencari cenderung mempersonalisasi konten yang disajikan kepada pengguna
berdasarkan sejarah penelusuran, klik, dan preferensi mereka.
Seiring waktu, ini dapat mengakibatkan
pengguna terjebak dalam pusaran informasi yang dangkal, di mana mereka hanya
terpapar pada sudut pandang, pendapat, dan informasi yang sejalan dengan apa
yang mereka sukai atau dengan apa yang mereka setujui. Tak pelak, kita seringkali
menemukan gambar, opini, dan cetusan di Facebook, Twitter dan Instagram
adalah kepanjangan dari ideologi (baca: perasaan) yang bersangkutan yang serba
hitam putih dan tidak bernuansa. Mereka tidak hadir di ruang maya untuk
untuk berdiskusi secara sehat dan
terbuka, tetapi memaksakan pendiriannya dan memamerkan keberpihakannya pada satu
kelompok, baik tersirat maupun tersurat.
Di era digital, warga semestinya bisa
memperoleh lebih banyak sumber pengetahuan dan aliran pemikiran. Alih-alih
melihat kenyataan lebih jernih, mereka justru meringkus kenyataan pada satu
sisi, seraya menyembunyikan sisi lain. Semisal, dukungan politik pada calon
pemimpin telah membutakan warga untuk mencerca calon lawan, padahal kandidat yang
dielus-elus juga memiliki kelemahan yang
serupa. Jadilah, realitas yang hendak dibangun itu merupakan arena caki maki
bukan diskusi, sehingga kenyataan diselimuti oleh kejahilan.
Ini mengingatkan kita pada metafora gua
Plato yang berbicara tentang konsep realitas atau pengetahuan sesungguhnya. Alegori
yang digunakan oleh Plato dalam karyanya yang masyhur, Republik, di mana
ada sekelompok tawanan yang terkurung dalam sebuah gua sepanjang hidup mereka.
Orang-orang ini hanya dapat melihat bayangan-bayangan yang terpancar di dinding
gua oleh obyek-obyek yang ada di luar gua. Mereka menyangka bahwa bayangan-bayangan
ini adalah realitas sejati karena itulah yang mereka lihat.
Untungnya, salah satu tawanan berhasil melarikan diri dari gua dan menemukan dunia luar yang sesungguhnya, di mana ia melihat matahari dan obyek-obyek yang sesungguhnya. Malangnya, ketika Kembali ke gua untuk menyadarkan tawanan-tawanan tentang realitas sejati, mereka tidak percaya dan menganggap pembawa “obor” itu gila. Mungkin, pembawa cahaya itu perlu lebih banyak orang dan cara agar suaranya didengar di era distraksi ini.
Dalam konteks tersebut, kenyataan mengacu
kepada pengetahuan yang diperoleh melalui pemahaman yang mendalam tentang dunia
luar, bukan hanya berdasarkan pada bayangan-bayangan yang terlihat di dinding gua.
Pandangan ini hendak menegaskan perbedaan dunia nyata (dunia ide atau dunia
bentuk yang abstrak) dan dunia yang dilihat oleh panca indera manusia yang
terbatas. Semestinya, era sekarang tidak segelap masa Plato karena banyak orang
telah memiliki akses informasi pada pelbagai media dan melek huruf pada berbagai
pengetahuan. Keterbatasan panca indera bisa diatasi dengan nalar yang berdasarkan
fakta dan logika.
Demikian juga kenyataan politik yang hari-hari
terakhir ini mewarnai dunia maya dan media. Alih-alih warga menyodorkan tentang
realitas perebutan kekuasaan terkait prinsip, yakni penguatan demokrasi,
seperti perlindungan hak asasi manusia, dan pemerataan akses ekonomi, semisal pembelaan
terhadap warga yang tergencet oleh pemodal, malah mereka terperangkap pada argumentum
ad hominem, menguliti isu pribadi tanpa ampun. Andaikata kenyataan politik
dihadirkan dalam bentuk yang sejati, tuntutan warga lebih menitikberatkan pada
apa yang akan dilakukan oleh pemimpin ketika berkuasa, bukan menjadi pemandu
sorak dari setiap calon tanpa hujah kritis.
No comments:
Post a Comment