Wednesday, October 04, 2023

Keislaman


 Ulasan tentang tema ini didasarkan pada buku Roy Jackson berjudul Nietzsche and Islam. Terjemahan karya ke dalam bahasa Indonesia yang akan diterbitkan oleh Ircisod ini mengajak pembaca untuk memeriksa kembali pemahaman terhadap filsuf yang seringkali disalahpahami dan melihat Islam dari dua perspektif, historis dan transhistoris atau ideal.

Buku tersebut mempunyai dua tujuan yang saling berkaitan. Pertama, ia berusaha untuk menunjukkan bahwa Friedrich Nietzsche adalah bukan pembawa baku untuk ateisme. Pada kenyataannya, lelaki dan filsafatnya ini dijiwai oleh sebuah keagamaan yang mendalam. Kedua,  filsafat Nietzsche mempunyai keterkaitan khusus dengan identitas Islami yang dipahami di dunia modern. Sementara Nietzsche jarang berbicara secara khusus tentang Islam, pengakuan terhadapnya sebagai sebuah agama berbeda secara tajam dengan kritisisismenya pada Kristianitas.

Menariknya, dalam sebuah pernyataan, penulis Those Spoke Zarathustra berujar bahwa saya ingin hidup di antara Muslim untuk waktu lama, khususnya di mana iman mereka adalah paling taat: dengan cara ini saya berharap untuk mengasah penilaian dan mata saya untuk semua yang berbau Eropa. Aforisma ini ditemukan dalam bukunya Twilight of the Idols (1968), yang perlu dipahami lebih teliti berdasarkan banyak karya lain.

Dari buku ini kita bisa mengetahui mengapa Nietzsche begitu ramah terhadap Islam. Dalam proses pemastian ini, apa yang diceritakan pada kita tentang pandangan Nietzsche sendiri terhadap pentingnya agama juga diungkapkan. Ini sekaligus menafikan sebagian pandangan bahwa filsuf dari Jerman ini anti-agama, apalagi hanya dikutip secara sambil lalu tentang seruannya bahwa Tuhan telah mati.  

Dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut, Roy Jackson memfokuskan pada apa yang dianggap sebagai paradigma-paradigma kunci Islam, yakni Alqur’an, Muhammad, Madinah sebagai ‘negara Islami’ pertama, dan empat khalifah yang dibimbing dengan benar (Rasyidun). Fokusnya adalah pada paradigma-paradigma ini ketika mereka cenderung dominan terkait dengan identitas Islam di antara para sarjana revivalis Islam.

Dalam hal ini, kembali pada Islam dalam apa yang dirasakan sebagai Era Keemasannya tidak orisinal dan dipandang oleh para Islamis sebagai tidak ortodoks. Namun demikian, orisinalitasnya terletak pada bagaimana seseorang mendekati sebuah kajian dari paradigma-paradigma ini. Roy menegaskan bahwa  orisinalitas, kreativitas, wawasan psikologis, filologis dan historisnya Nietzsche memungkinkan sebuah pemahaman yang segar dan mencerahkan tentang paradigma-paradigma Islam dalam konteks era modern.

Mengapa Nietzsche dipilih? Nietzshe adalah seorang filsuf dan seorang filolog, yang pandangan psikologisnya mendapatkan akar dari apa yang dimaksud dengan menjadi menjadi manusia, sementara filologinya mengapresisasi pentingnya bahasa dan penafsiran. Ini tentu sejalan dengan tradisi keislaman yang memberikan perhatian besar terhadap dunia teks (hadharah al-nash) dan kedudukan manusia di muka bumi yang penting dalam pesan ketuhanan (khalifah fil ardh).

Disiplin-disiplin ini sekaligus menjadikan Nietzsche sebagai penyumbang berharga terhadap perdebatan  yang menaruh perhatian pada hubungan kepercayaan-kepercayaan metafisik dengan kehidupan sehari-hari, hingga kejiwaan Muslim dan sebuah kepercayaan yang sangat bergantung pada teks sebagai sebuah cara menafsirkan dunia. Dari sini, keislaman kita bisa dilihat dari cara liyan memandang sehingga kita bisa mengkomunikaskan pesan keislaman ke dunia yang lebih luas tanpa tersandera dengan sikap apologetik dan dogmatik.

Kata Roy, Islam tidak hanya sebuah agama, ideologi, pandangan dunia, tetapi sebuah bahasa. Bahasa Arab, meskipun tidak dipahami oleh mayoritas orang beriman, adalah utama dalam Islam dan Alqur’an sebagai bahasa Tuhan dan Muhammad. Keluarga bahasa besar ini adalah sebagai pembentuk filsafat dan kontinen untuk evolusi binatang atau matahari bagi planet yang mengitarinya. Semakin tertutup kebudayaan untuk berbagi sebuah bahasa yang sama, semakin tertutup pandangan dunia mereka.

Dari penegasan Roy, Islam historis merupakan keniscayaan karena kehadiran agama berjumpa dengan banyak kebudayaan. Paradigma-paradigma kunci tersebut menyinari penganutnya untuk menjalankan keyakinannya dalam kehidupan sosial dan politik secara majemuk tanpa kehilangan pesan etis yang dikandungnya. Keislaman dengan banyak ekspresi lebih mengemuka dalam bentuk-bentuk luaran (seperti pakaian, bangunan, dan adat), sementara elemen dalaman (seperti salat, puasa, zakat, dan haji) relatif sama. Mengapa takut pada warna? (Sumber: Keislaman)

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...