Sunday, January 14, 2024

Kisah Buku

Untuk menyemangati kelas terjemahan teks setiap Ahad pagi di UNUJA, saya mengalihbahasakan anggitan Roy Jackson, "Nietzsche and Islam". Akhirnya, buku tersebut sampai ke rumah tatkala saya menekuri paparan Kiai Zainul Mu'in dan Kiai Miftah Faqih dalam Halaqah Fikih Peradaban II di aula pondok. 

Dulu, ketika belajar Filsafat di IAIN, saya terguncang dengan ujaran Nietzsche tentang Tuhan telah mati. Padahal kami sebenarnya belum mendaras banyak karya penggemar Wagner ini. 

Beruntung, saya pernah menyelesaikan karya Peter Levine, yang menyuguhkan dua tafsir terhadap pengarang Beyond Good and Evil, kanan konservatif dan kiri progresif. Pendek kata, pemahaman itu mudah retak. 

Nah, buku ini pun menegaskan bahwa filsafat lelaki berkumis keren dijiwai oleh keagamaan yang mendalam. Lebih jauh, Roy mengungkapkan bahwa filsafatnya memiliki keterkaitan khusus dengan identitas islami yang dipahami di dunia modern (hlm. 8).

Dari jejak ini, saya memejamkan mata seraya tepekur bahwa kenyataan tidak bisa dipikul oleh perkataan. Ia mesti menjadi tindakan dengan segala risikonya. Itulah mengapa saya mengikuti Yasinan seraya menghadirkan Tuhan dalam prasangka sendiri dan tak menyoal Tuhan yang diyakini oleh para jemaah di musala Ali bin Talib. 

Setiap individu bergulat dengan pemahamannya sendiri dan berbuah manfaat pada orang lain, setidaknya berupa kebersamaan menjadi manusia secara setara dan apa adanya. Sementara benda yang menempel, seperti ras, agama, dan negara, pada dirinya adalah terberi dan pilihan, yang tidak perlu menjadi alasan untuk bertikai tak karuan. Orang yang matang akan bersedia untuk berubah. Kebedaan adalah keniscayaan.

 

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...