Saya mendengar ludruk ini dengan riang melalui radio Bayu Gita FM. Para pemain bisa berkelakar tanpa beban. Ini mustahil dilakukan dalam kehidupan sehari-hari yang penuh etiket, sopan santun, dan tepa selira. Justru, di sinilah kekuatannya karena ia bisa menjadi katup dari tekanan seharian yang penuh kepalsuan karena kegagalan memahami hakikat percakapan.
Diskusi itu bukan untuk memenangkan, tetapi memajukan. Tetapi, nalar dalam perbincangan khalayak lebih mengarah pada kepongahan individu. Padahal, bila seseorang selalu merasa benar dengan pikirannya, sebenarnya gila, karena ia berbicara dengan dirinya sendiri, bukan dengan orang lain.
Tetapi, sebebas apapun karakter dalam ludruk berkoar, ia tetap tunduk pada aturan. Semisal, pantun yang diucapkan di atas pentas, ka Sumenep mellea salak, oreng bini madu arebbu' pao. Kalau tidak, Darso dkk bisa disemprit oleh Komisi Penyiaran karena dianggap tidak etis.
Pendek kata, menahan diri adalah kunci dalam berkomunikasi. Setiap bahasa memiliki langgam, diksi, dan arti, yang masing-masing tidak mudah dipindah pada bahasa lain. Mungkin, di sini kita bisa berharap bahwa bahasa daerah akan tetap hidup di tengah kehendak untuk menyatukan warga dengan bahasa nasional.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Radio, Kopi, dan Ibn Khaldun
Ronald Reagen pernah mengutip Ibn Khaldun tentang pajak. Betapa ide penulis Muqaddimah mengalir hingga jauh. Menariknya, mantan presiden Ame...

-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Rindu itu adalah perasaan akan sesuatu yang tidak ada di depan mata kita. Demikian pula, buku itu adalah jejeran huruf-huruf yang menerakan ...
-
Kata dalam judul sering didengar di tahun baru. Orang jiran menyebutnya azam. Anda bisa menyebutnya tekad. Buku ini menandai sebagian dari ...
No comments:
Post a Comment