Saya menunggu kereta api yang akan mengangkut tubuh dan pikiran saya ke Jatinegara. Duh, selawat Al-Khushary dari dua corong masjid berkumandang. Tentram meraja lela.
Ada 4 bule dengan tas ransel besar. Dua ibu di sebelah yang ngobrol. Seorang anak kecil menangis kejet. Kebanyakan penumpang memelototi layar telepon genggam.
Di dalam gerbong, Saya nanti akan membaca disertasi UIN Walisongo tentang sejarah tokoh melalui kajian Living Qur'an dengan pendekatan etnografis. Ko-promotornya adalah teman seangkatan dulu, dia Syariah, saya Ushuluddin. Pengujinya kakak kelas di IAIN Sunan Kalijaga.
Sebagai pengajar mata kuliah Living Qur'an, saya melihat kitab suci itu hidup dalam banyak kegiatan warga, seperti Yasinan, Tahlilan, dan selamatan. Namun, sebagai penganut pedagogi kritis, saya ingin melihat surah Yasin itu dibaca oleh petani, nelayan, dan buruh sebagai pesan Tuhan yang membebaskan. Firman bukan penglipur lara dan obat penenang. Khalas.

No comments:
Post a Comment