Wednesday, August 03, 2005

Potret Retak: Malam Kebudayaan Dua Negara

25 Juli 2005 pukul 9-11 malam

Sebagai bekas santri (pelajar di pondok pesantren), saya diajarkan menjadi orang yang baik dengan menjalankan semua perintah Tuhan, yang sepi dari budaya, hasil ciptaan manusia. Dulu, ludruk adalah seni pertunjukkan yang diharamkan karena alur cerita yang menampilkan sosok perempuan yang dibawakan laki-laki serta kandungan cerita yang tidak mengusung cerita-cerita Islami. Sepertinya, manusia mampu melucuti yang profan dan sakral dalam daya cipta.
Malam itu, saya hadir di pagelaran budaya yang menampilkan khazanah Malaysia dan Indonesia dalam satu panggung. Dengan dihadiri mahasiswa dari dua negara ini, Malam Kebudayaan seakan mampu melupakan dan menafikan perseteruan yang sedang mendera negara bertetangga mengenai kepemilikan Ambalat.
Dari Indonesia, SMA Adi Warna, sebuah sekolah menengah swasta di Medan, menyuguhkan beberapa tarian, seperti Serampang Dua Belas, Rantak, Zafir, Zapin, Tak Tong Tong, Tari Payung dan Tari kreasi yang membawakan lagu Siti Nur Haliza, Balqis. Dari Malaysia, ditampilkan Silat Cekak dan lagu-lagu Melayu yang diciptakan oleh pemusik papan atas seperti Ramli Sharif dan lagu tradisional melayu yang lain dan tentu saja Siti Nur Haliza dengan Ya Maulai yang ditayangkan melalui layar lebar di atas panggung.
Tentu saja, kehadiran orang Indonesia di universiti tampat saya belajar, mengobati kekangenan akan Indonesia. Terus terang, sebelumnya, saya tidak pernah menikmati langsung pagelaran tari, meskipun pernah melihatnya di TVRI sepintas lalu. Dunia ini seperti asing bagi nafas hidup selama ini.
Namun, kehadiran lima tujuh penari, 3 laki-laki dan empat perempuan telah menghipnotis saya selama dua jam betapa warisan itu begitu berharga. Berbeda dengan tari India dan Barat yang selama ini dilihat dalam film, tarian Indonesia memperlihatkan kelambanan dan gerak simbolik yang secara subjektif mengajarkan keluhuran hubungan kemanusiaan yang agung. Tak ada eksploitasi ragawi di situ, yang biasanya disuguhkan secara vulgar dalam tarian India dan Barat. Menurut saya, tarian Indonesia bertumpu pada kekuatan tangan, kaki dan keriangan wajah.

Hambatan Politik
Sehabis pementasan, saya menghampiri guru yang menjadi motor dari pagelaran ini. ia mengeluhkan tindakan aparat imigrasi yang menahan rombongan mereka hampir satu jam. Praktis, mereka mempunyai waktu yang relatif sebentar untuk mempersiapkan fisik dan mental, karena mereka sampai pukul 6 dan pertunjukan di mulai pukul sembilan.
Tentu saja, perlakuan semacam ini acapkali diterima oleh orang-orang Indonesia yang datang ke negeri Jiran ini. Dengan rombongan besar, apalagi diikuti oleh anak-anak puteri belia, maka pihak imigrasi menaruh syak wasangka bahwa mereka adalah calon potensial bagi penyalahgunaan. Hampir setiap hari, surat kabar memuat berita kasus kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia dan berita-berita mengenaskan yang menimpa bangsa Indonesia, seperti polio, flu burung dan beberapa kasus kontroversial. Hampir-hampir, susah untuk menemukan penghargaan terhadap sisi terang dari Indonesia di dalam percaturan kehidupan antarbangsa.
Suasana ini berbeda sama sekali, di dalam ruang DTSP (Dewan Tengku Syed Putra) tempat penyelenggaraan Malam Kebudayaan menyambut wisuda Universiti Sains Malaysia. Pembawa acara, Edwin (India) dan Aisyah (Melayu) dengan sangat baik menjadi pemandu yang mampu menjadikan acara ini lebih hidup. Dengan mantap, mereka melihat kedekatan emosional kebudayaan antara kedua negara sebagai pengikat hubungan nusantara. Lain di panggung, lain juga di kehidupan nyata. Di tengah jeda acara, karena kesalahan teknik, pembawa acara melakukan improvisasi dengan mengajukan pertanyaan pada penari, dari nama, kesan dalam perjalanan dan apakah mereka akan kembali ke Malaysia. Jawaban polos mereka tentu menggambarkan cara pandang yang tidak dibebani oleh persoalan politik dua negara yang silih berganti menerpa keduanya, sejak masa konfrontasi, kasus Sipadan-Ligitan, dan paling anyar Ambalat. Bagi mereka, perjalanan dan pagelaran menyenangkan. Apalagi, selama empat hari, rombongan ini juga mengadakan tour ke Kualalumpur.
Lebih jauh, Edwin juga bertanya pada penonton, yang merupakan mahasiswa Cina, mengenai acara yang baru ditonton. Menariknya, bukan pada jawaban, tapi pada komentar si pembawa acara, bahwa di sinilah wajah Malaysia yang multikultural dipertontonkan dengan anggun. Sayangnya, tak satupun dipanggungkan persembahan dari tradisi Cina dan India, yang merupakan penyangga terbesar wajah kebudayaan negeri Truly Asia ini.
Memang, hubungan dua negara ini bisa dilihat dari dua sisi, hubungan formal yang seringkali diperlihatkan di siaran televisi antara para petinggi yang mesra dengan peluk dan pernyataan manis. Tetapi, tidak di dalam praktik kehidupan keseharian di akar rumput. Kita disuguhkan potret persaudaran yang buram dan muram.
Mereka yang telah mengantarkan para pemegang kekuasaan di dua negara ini melalui pemilihan umum (di Malaysia pemilihan raya) terpaksa mesti gigit jari karena telah gagal melindungi mereka dalam mencari kehidupan untuk layak. Keduanya gagal untuk memberikan regulasi agar arus orang juga mendapat perhatian yang baik, tidak hanya arus barang yang menjadi monopoli segelintir orang saja.
Kalau Edwin menyatakan dengan bangga dan tentu penonton merasa puas dengan penampilan kebudayaan dan keindahan ini pun hanya berlaku di atas panggung? Kenapa kemesraan ini juga tidak dibawa ke dalam kehidupan nyata? Tentu saja, tugas mereka yang diberi wewenang untuk melaksanakan janji-janji di pemilihan secara konkret, bukan retorik, agar potret buram itu secara perlahan terang dan menunjukkan gambar yang benderang agar enak dilihat, bukan?

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...