Wednesday, May 24, 2006

Perjalanan Ke Kongres PPI VIII

Malam Sabtu, kami, Indah, Iqbal, Hilal, Tauran diantarkan Baim ke Terminal Sungai Nibong untuk berangkat ke Kongres PPI VIII di UTM (Universiti Teknologi Malaysia). Bus Konsortium molor beberapa menit dari jadual yang telah diberikan. Seharusnya, kami berangkat 10.30, tapi 10.45 ia meninggalkan sarangnya. Sebelumnya, Iqbal telah mengantongi karcis bis yang masing-masing seharga RM 50. Kebetulan, pihak KRJI membantu kami RM 150, dan sisanya diambilkan dari kas PPI sehingga berlima kami berangkat dengan tenang. Tapi, sayangnya, untuk ongkos pulang, kami harus merogoh kocek sendiri.

Saya sendiri membayangkan perjalanan ini akan menyenangkan, tidak hanya bus yang kita tumpangi luas karena hanya 3 kursi per barisnya, tapi juga akan melalui jalan tol hingga sampai tujuan. Sebelum melewati jembatan yang membelah Pulau Pinang dan Malaysia daratan (kiran-kira 13 km), saya mendengarkan lagu KLA Project melalui walkman. Hampir semuanya saya suka, tapi Tak Bisa Ke Lain Hati benar-benar membuat saya tentram, karena ia memberikan ruang yang besar untuk pelbagai ingatan. Lagu ini pernah dijadikan soundtrack drama radio romantik di Yogyakarta ketika saya menyelesaikan program sarjana muda, sekaligus mengingatkan peristiwa lain yang agak susah untuk membubuhkan dalam catatan singkat ini.

Di sebelah saya, Iqbal bercakap ringan untuk menghabiskan waktu sebelum asyik dengan mimpinya masing-masing. Di depan saya, Tauran dan Hilal berbincang, tapi saya tak bisa mendengarnya dengan jelas. Indah tampak asyik dengan dunianya. Saya sengaja menutup lubang AC di atas kepala karena udaranya menusuk ubun-ubun. Kami berhenti dua kali untuk melemaskan otot dan melaksanakan hajat ke kamar kecil. Tapi, saya kecewa pas perhentian Yong Peng karena toilet benar-benar buruk. Ternyata ia bukan milik perusahaan PLUS yang menangani tol utara-selatan negeri Jiran ini. Kapan ya kita akan menikmati perjalanan dengan lebuh raya yang memanjang dari Sabang sampai Merauke, tanpa direcoki dengan hambatan jalan yang rusak, atau tersendat karena melewati pasar yang menggunakan bahu jalan untuk areal perdagangan, dan dengan leluasa menggunakan toilet yang disanggongi petugas kebersihan hampir 24 Jam?

Tiba di Sri Puteri jam 6 45, kami menyewa taksi tidak resmi ke lokasi kongres. Di sana, kami disambut oleh ketua PPI dan panitia untuk mendaftar mendapatkan kunci dan sarung bantal. Saya sekamar dengan Mas Hilal. Meskipun di bus, saya tertidur, namun tidak nyenyak karena bus terguncang-guncang membawa penumpang. Jalan yang baik dan kondisi kenderaan yang prima bukan jaminan untuk tidur pulas. Mungkin, karena ia bergerak sementara kita tidur dalam keadaan diam.

Tempat istirahat kami cukup nyaman karena terletak di antara bangunan yang tidak tinggi sehingga tidak membuat kepala mendongak dan lanskap yang nyaman di mata. Di mana-mana pohon bertebaran menemati gedung-gedung yang dirancang rapi. Menurut Profesor Rahmalan, Dekan Pascasarjana UTM (asal Indonesia), luas universitas yang bertetangga dekat dengan Singapura ini adalah 1200 hektar dengan 2400 staf.

Tidur sejenak di ranjang membuat badan lebih nyaman. Jam 8.30 kami diminta untuk sarapan di lokasi sekaligus persiapan pembukaan kongres. Kedatangan Pejabat KBRI dan Diknas RI melegaskan kami karena acara bisa segera dimulai. Lazimnya seremoni, kami disuguhkan sambutan, yang isinya pujian dan harapan.

Mungkin, serangkaian acara yang menarik adalah paparan dari wakil Diknas, Dr. Bambang Widyanto, tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Bagi saya, ini adalah sebuah asupan informasi dari lingkaran pertama Departemen Pendidikan Indonesia. Dengan lugas, pria yang menyelesaikan Ph D di Pittsburgh Amerika ini mengolok birokrasi yang tidak kritis, sebab ini akan mencelakakan posisinya. Nah, ini tentu membantu kita bahwa semestinya birokrasi itu harus rasional agar berjalan efisien dan efektif. Tapi, dengan dana cekak, harapan ini raib bersama angin lalu.

***

Secara keseluruhan kongres kali ini berjalan lancar, meskipun diselipi pertengkaran pendapat. Perbedaan ini tentu saja tidak terlalu mencemaskan karena masih berada di dalam koridor kebersamaan. Pertanggungjawaban pengurus lama diterima secara bulat, tanpa ada keluhan. Sidang komisi dan pleno juga tak mengalami hambatan berarti. Terkadang, agenda molor dan percekcokan muncul. Bahkan, pembahasan AD/ART tidak mengalami deadlock. Pemilihan ketua berjalan mulus. Hall pascasarjana UTM menjadi saksi tentang kebebasan bicara dan berpendapat tetapi masih memperhatikan kepentingan bersama yang lebih luas untuk memupuk solidaritas sebagai sesama anak bangsa. Kesadaran inilah yang menyebabkan kongres tak perlu berdarah-darah atau melahirkan organisasi tandingan.

Bertambahnya cabang Uniten dan Unitar akan makin mengukuhkan keberadaan PPI Malaysia untuk merapatkan barisan mengumpulkan teman-teman membincangkan dirinya dan keberadaan warga Indonesia di tanah Melayu ini. Di sidang pleno, kedua cabang baru ini akhirnya disyahkan dan diterima oleh seluruh anggota untuk menjadi bagian dari keluarga besar.

Lalu, acara ditutup dengan tour ke Danga Bay, daerah pantai Johor yang elok dan penanganan yang bagus. Panitia lokal berbaik hati mengantarkan kami ke tempat peranginan (wisata). Garis pantai yang membentang panjang memungkinkan kami menelusuri sepanjang jalan. Hari minggu yang beda, karena kami telah menyemarakkan pariwisata negeri yang menyebut Asia yang sebenarnya. Dari USM, hanya saya dan Tauran yang mengikuti acara pamungkas ini, dan empat yang lain memilih pulang ke Pulau Mutiara, Pulau Pinang.

No comments:

Mainan

Mengapa anak perempuan bermain masak-masakan dan anak lelaki mobil-mobilan? Kata tanya mendorong mereka untuk berpikir. Pada gilirannya kita...